Jakarta: Oesman Sapta Odang (OSO) bukan nama asing di kancah perpolitikan nasional. Karier poltik sebelumnya banyak dihabiskan di partai gurem yang asing terdengar.
Namanya mulai banyak dibicarakan saat terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum (ketum) Partai Hanura pada musyawarah nasional luar biasa (munaslub) 2016. Dia menggantikan Wiranto yang menjadi menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam)
"Saya belum hilang kagetnya dari tadi gemetaran karena belum pernah pimpin partai sebesar ini," ungkap Oso saat memberi sambutan pertama sebagai ketum di Kantor DPP Hanura, Jalan Mabes Hankam, Cilangkap, Jakarta Timur, 2016 lalu.
Terpilihnya OSO sebagai ketum Hanura memang disangsikan banyak pihak. Pro dan kontra timbul mengingat posisinya pada saat itu sebagai senator, anggota dewan perwakilan daerah (DPD), yang notabene nonpartisan dan wajib independen. Keputusan OSO bergabung dengan Hanura diikuti eksodus sembilan anggota DPD lainnyam salah satunya Gede Pasek Suardika senator asal Bali.
Langsung menempati posisi prestisius sebagai ketua umum, karier OSO di Partai Hanura terbilang instan. Hal ini tak terlepas dari peran Wiranto yang memiliki kedekatan khusus dengan pemilik perusahaan OSO Securities itu.
Wiranto berdalih pemilihan OSO sebagai ketua umum Partai Hanura telah disepakati oleh seluruh kader berdasarkan hasil musyawarah mufakat. Padahal, sebelumnya muncul nama-nama yang lebih dulu eksis di partai seperti Nurdin Tampubolon, Yuddy Chrisnandi, dan Saleh Husin.
“Bukan seperti nerima kendaraan bekas terus pakai, tapi ada pakta integritas, yang menjamin kesinambungan politik. Tanpa itu kita tidak akan pilih pak OSO," kata Wiranto.
Isu Wiranto 'menjual' Hanura, yang telah dirintisnya sejak keluar dari Golkar, kepada OSO sempat mencuat. OSO diduga menggelontorkan dana untuk memuluskan langkahnya menjadi orang nomor satu di Hanura. Tak tanggung-tanggung, nominalnya mencapai ratusan miliar.
Di kesempatan acara syukuran atas lolosnya Partai Hanura sebagai peserta pemilu 2019, keduanya kompak mengelak. OSO mengklaim kehadirannya di Hanura justru membersihkan keuangan partai yang bobrok pada kepengurusan sebelumnya.
“Enggak ada itu saya bayar Pak Wiranto Rp200 miliar, apalagi mengambil yang Rp200 miliar, yang ada kita menangkap pencuri yang menggerogoti partai ini,” ujar OSO.
Wiranto menimpali, “Tidak sepersen pun saya minta ke Pak OSO. Pengganti saya Pak OSO akan tetap menjaga soliditas, akan menambah kursi suara, itu bayaran komitmen, bukan di uang.”
Kedekatan OSO dengan Wiranto bukan barang baru. Keduanya pernah berada satu atap di organisasi Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI).
Periode 1997-2001 saat Wiranto menjabat sebagai ketua umum, OSO didapuk sebagai bendahara umumnya. OSO bahkan mengakui Wiranto bolak-balik hingga empat kali membujuk dirinya agar mau memimpin Partai Hanura selepas Wiranto mengundurkan diri.
Dualisme partai
Belum genap dua tahun kepimpinan OSO, Hanura bergejolak. Sebanyak 27 perwakilan DPD yang digalang mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Syarifuddin Sudding mengajukan mosi tidak percaya kepada OSO.
OSO dituding meminta mahar politik kepada calon kepala daerah dan legislatif yang ingin diusung atau maju lewat Partai Hanura. OSO dipecat sebagai ketua umum dalam mosi tidak percaya itu.
Kubu Sudding bergerak cepat. Bersama sejumlah kader yang sudah lama eksis, seperti Nurdin Tampubolon dan Dadang Rusdiana, menggelar munaslub oada 18 Januari di Bambu Apus, Jakarta Timur.
Munaslub memilih Marsekal Madya Purnawirawan Daryatmo sebagai ketum menggantikan OSO. Surat keputusan (SK) kepengurusan kubu OSO digugat ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara.
OSO tak tinggal diam. Sejumlah kader yang memberontak satu per satu dipecat dari jajaran kepengurusan partai. Upaya ini yang disebutnya sebagai strategi bersih-bersih partai.
Syarifuddin Sudding yang dipecat dari jabatan Sekjen. Loyalis Suding di Parlemen pun didepak dari alat kelengkapan Dewan. Nurdin Tampubolon lengser dari jabatan ketua Fraksi Partai Hanura digantikan Inas Nasrullah. Dadang Rusdiana digantikan Fauzi Amro sebagai sekretaris fraksi.
Kedua kubu masing-masing saling mengklaim kepengurusan mereka yang paling sah di mata hukum. Mereka sama-sama mengaku kepemimpinannya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai (AD-ART).
Sikap Wiranto diuji dalam menengahi konflik internal partai. Namun, Wiranto seolah memberikan tanggapan yang mengambang atas konflik yang terjadi.
"Saya menghormati hak politik anggota sebagai pemilik partai saya hormati. Apabila perjuangan itu berdasarkan kebenaran ya, tentu akan didukung oleh hukum dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita perjuangkan saja," ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan 18 Januari lalu.
Imbas dualisme ini, konon dikabarkan Wiranto sempat bersitegang dan berseteru dengan OSO. OSO menuding Wiranto merestui dan mengakui kepengurusan hasil Munaslub Bambu Apus kubu Sudding.
"Banyak yang viralkan seolah saya musuh sama Pak OSO, Ketua Dewan Pembina (Wiranto) cekcok sama Ketum. Ini kan terus diviralkan seperti itu. Tapi bukan," ujar Wiranto saat itu.
Wiranto berupaya partai besutannya tetap solid. Upaya mediasi dan rekonsiliasi kedua kubu dilakukannya. Wiranto mempertemukan kubu OSO dan Daryatmo di Hotel Ritz Carlton, Kuningan. Dalam pertemuan tersebut, kedua kubu menyepakati bahwa kepengurusan dikembalikan ke titik nol sesuai arahan Wiranto.
Meski demikian, kedua kubu memiliki penafsiran berbeda mengenai titik nol tersebut. Dadang Rusdiana dari kubu Sudding menilai titik nol ialah kepengurusan Hanura hasil Munaslub 2016 yang menetapkan OSO sebagai ketum dan Sudding sebagai sekjen.
Sementara itu, OSO justru malah memecat Sudding dan menggantinya dengan Herry Lontung. Kepengurusan OSO-Lontung itu disahkan Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Januari lalu.
Namun, tampaknya Wiranto lebih mendukung kubu OSO. Kehadiran mantan Panglima ABRI di acara syukuran partai yang digelar di kediaman OSO itu seolah mempertegas posisinya di tengah konflik dualisme keemimpinan partai.
Ketidakhadiran kader-kader dari kubu Sudding menyiratkan Wiranto sudah melupakan kader-kader yang dipecat OSO. Apalagi, dengan tegas dalam sambutannya, OSO menyebut pemecatan Sarifuddin Sudding mendapatkan persetujuan dari Wiranto.
“Sekjen lama (Suding) sudah dipecat atas persetujuan Pak Wiranto,” ucap OSO.
Wiranto cawapres
Belum usai dualisme kepengurusan partai, isu baru muncul. Sekonyong-konyong, di acara syukuran Partai Hanura di kediamannya, OSO menyatakan Partai Hanura mengusung Wiranto sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Pressiden Joko Widodo di Pilpres 2019. Padahal, Wiranto tak pernah terdengar di bursa cawapres.
Wiranto yang turut hadir dalam acara tersebut seolah tak percaya dengan pernyataan yang dilontarkan OSO. Raut wajahnya tampak kikuk dan terheran-heran atas pernyataan yang bisa memicu reaksi sejumlah pihak keluar dari mulut seorang ketum partai tanpa koordinasi sebelumnya.
Baca: Wiranto Bantah Terima Rp200 Miliar dari OSO
"Enggak bilang-bilang," ucap Wiranto seraya menyalami OSO.
Wiranto sendiri ogah memikirkan bursa Pilpres 2019. Bahkan, ia sendiri sama sekali tidak pernah membicarakan soal cawapres dengan Presiden Joko Widodo.
"Begini ya saya ini kan sekarang dapat tugas dari Presiden untuk membantu beliau. Kita ini punya komitmen. Pak OSO punya komitmen. Jadi sekarang ini biarlah saya konsentrasi sepenuhnya kepada tugas yang saya selesaikan sebagai menko polhukam," kata Wiranto.
OSO berkelakar sosok Wiranto bisa menjadi komoditas politik pendongkrak suara Partai Hanura. "Partai orang ada yang mencalonkan presiden. Kalau kita sederhana sebagai wapres saja. Masa seorang seperti Wiranto yang berpengalaman panglima TNI, menko polhukam, capres, cawapres enggak boleh? Sah-sah saja," ucap OSO dengan santainya.
Sementara itu, semestinya OSO memikirkan bagaimana menyelesaikan dualisme partai. Kasus ini berkontribusi menggerogoti elektabilitas partai ketimbang gembar-gembor usung cawapres.
Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis akhir bulan lalu, elektabilitas Partai Hanura hanya 0,7 persen. Dia berada di urutan buncit di antara partai-partai lainnya. Artinya, Partai Hanura terancam tak lolos ambang batas parlemen yang ditetapkan dalam UU Pemilu sebesar 4 persen suara sah nasional.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/akWyeDaN" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Oesman Sapta Odang (OSO) bukan nama asing di kancah perpolitikan nasional. Karier poltik sebelumnya banyak dihabiskan di partai gurem yang asing terdengar.
Namanya mulai banyak dibicarakan saat terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum (ketum) Partai Hanura pada musyawarah nasional luar biasa (munaslub) 2016. Dia menggantikan Wiranto yang menjadi menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam)
"Saya belum hilang kagetnya dari tadi gemetaran karena belum pernah pimpin partai sebesar ini," ungkap Oso saat memberi sambutan pertama sebagai ketum di Kantor DPP Hanura, Jalan Mabes Hankam, Cilangkap, Jakarta Timur, 2016 lalu.
Terpilihnya OSO sebagai ketum Hanura memang disangsikan banyak pihak. Pro dan kontra timbul mengingat posisinya pada saat itu sebagai senator, anggota dewan perwakilan daerah (DPD), yang notabene nonpartisan dan wajib independen. Keputusan OSO bergabung dengan Hanura diikuti eksodus sembilan anggota DPD lainnyam salah satunya Gede Pasek Suardika senator asal Bali.
Langsung menempati posisi prestisius sebagai ketua umum, karier OSO di Partai Hanura terbilang instan. Hal ini tak terlepas dari peran Wiranto yang memiliki kedekatan khusus dengan pemilik perusahaan OSO Securities itu.
Wiranto berdalih pemilihan OSO sebagai ketua umum Partai Hanura telah disepakati oleh seluruh kader berdasarkan hasil musyawarah mufakat. Padahal, sebelumnya muncul nama-nama yang lebih dulu eksis di partai seperti Nurdin Tampubolon, Yuddy Chrisnandi, dan Saleh Husin.
“Bukan seperti nerima kendaraan bekas terus pakai, tapi ada pakta integritas, yang menjamin kesinambungan politik. Tanpa itu kita tidak akan pilih pak OSO," kata Wiranto.
Isu Wiranto 'menjual' Hanura, yang telah dirintisnya sejak keluar dari Golkar, kepada OSO sempat mencuat. OSO diduga menggelontorkan dana untuk memuluskan langkahnya menjadi orang nomor satu di Hanura. Tak tanggung-tanggung, nominalnya mencapai ratusan miliar.
Di kesempatan acara syukuran atas lolosnya Partai Hanura sebagai peserta pemilu 2019, keduanya kompak mengelak. OSO mengklaim kehadirannya di Hanura justru membersihkan keuangan partai yang bobrok pada kepengurusan sebelumnya.
“Enggak ada itu saya bayar Pak Wiranto Rp200 miliar, apalagi mengambil yang Rp200 miliar, yang ada kita menangkap pencuri yang menggerogoti partai ini,” ujar OSO.
Wiranto menimpali, “Tidak sepersen pun saya minta ke Pak OSO. Pengganti saya Pak OSO akan tetap menjaga soliditas, akan menambah kursi suara, itu bayaran komitmen, bukan di uang.”
Kedekatan OSO dengan Wiranto bukan barang baru. Keduanya pernah berada satu atap di organisasi Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI).
Periode 1997-2001 saat Wiranto menjabat sebagai ketua umum, OSO didapuk sebagai bendahara umumnya. OSO bahkan mengakui Wiranto bolak-balik hingga empat kali membujuk dirinya agar mau memimpin Partai Hanura selepas Wiranto mengundurkan diri.
Dualisme partai
Belum genap dua tahun kepimpinan OSO, Hanura bergejolak. Sebanyak 27 perwakilan DPD yang digalang mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Syarifuddin Sudding mengajukan mosi tidak percaya kepada OSO.
OSO dituding meminta mahar politik kepada calon kepala daerah dan legislatif yang ingin diusung atau maju lewat Partai Hanura. OSO dipecat sebagai ketua umum dalam mosi tidak percaya itu.
Kubu Sudding bergerak cepat. Bersama sejumlah kader yang sudah lama eksis, seperti Nurdin Tampubolon dan Dadang Rusdiana, menggelar munaslub oada 18 Januari di Bambu Apus, Jakarta Timur.
Munaslub memilih Marsekal Madya Purnawirawan Daryatmo sebagai ketum menggantikan OSO. Surat keputusan (SK) kepengurusan kubu OSO digugat ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara.
OSO tak tinggal diam. Sejumlah kader yang memberontak satu per satu dipecat dari jajaran kepengurusan partai. Upaya ini yang disebutnya sebagai strategi bersih-bersih partai.
Syarifuddin Sudding yang dipecat dari jabatan Sekjen. Loyalis Suding di Parlemen pun didepak dari alat kelengkapan Dewan. Nurdin Tampubolon lengser dari jabatan ketua Fraksi Partai Hanura digantikan Inas Nasrullah. Dadang Rusdiana digantikan Fauzi Amro sebagai sekretaris fraksi.
Kedua kubu masing-masing saling mengklaim kepengurusan mereka yang paling sah di mata hukum. Mereka sama-sama mengaku kepemimpinannya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai (AD-ART).
Sikap Wiranto diuji dalam menengahi konflik internal partai. Namun, Wiranto seolah memberikan tanggapan yang mengambang atas konflik yang terjadi.
"Saya menghormati hak politik anggota sebagai pemilik partai saya hormati. Apabila perjuangan itu berdasarkan kebenaran ya, tentu akan didukung oleh hukum dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita perjuangkan saja," ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan 18 Januari lalu.
Imbas dualisme ini, konon dikabarkan Wiranto sempat bersitegang dan berseteru dengan OSO. OSO menuding Wiranto merestui dan mengakui kepengurusan hasil Munaslub Bambu Apus kubu Sudding.
"Banyak yang viralkan seolah saya musuh sama Pak OSO, Ketua Dewan Pembina (Wiranto) cekcok sama Ketum. Ini kan terus diviralkan seperti itu. Tapi bukan," ujar Wiranto saat itu.
Wiranto berupaya partai besutannya tetap solid. Upaya mediasi dan rekonsiliasi kedua kubu dilakukannya. Wiranto mempertemukan kubu OSO dan Daryatmo di Hotel Ritz Carlton, Kuningan. Dalam pertemuan tersebut, kedua kubu menyepakati bahwa kepengurusan dikembalikan ke titik nol sesuai arahan Wiranto.
Meski demikian, kedua kubu memiliki penafsiran berbeda mengenai titik nol tersebut. Dadang Rusdiana dari kubu Sudding menilai titik nol ialah kepengurusan Hanura hasil Munaslub 2016 yang menetapkan OSO sebagai ketum dan Sudding sebagai sekjen.
Sementara itu, OSO justru malah memecat Sudding dan menggantinya dengan Herry Lontung. Kepengurusan OSO-Lontung itu disahkan Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Januari lalu.
Namun, tampaknya Wiranto lebih mendukung kubu OSO. Kehadiran mantan Panglima ABRI di acara syukuran partai yang digelar di kediaman OSO itu seolah mempertegas posisinya di tengah konflik dualisme keemimpinan partai.
Ketidakhadiran kader-kader dari kubu Sudding menyiratkan Wiranto sudah melupakan kader-kader yang dipecat OSO. Apalagi, dengan tegas dalam sambutannya, OSO menyebut pemecatan Sarifuddin Sudding mendapatkan persetujuan dari Wiranto.
“Sekjen lama (Suding) sudah dipecat atas persetujuan Pak Wiranto,” ucap OSO.
Wiranto cawapres
Belum usai dualisme kepengurusan partai, isu baru muncul. Sekonyong-konyong, di acara syukuran Partai Hanura di kediamannya, OSO menyatakan Partai Hanura mengusung Wiranto sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Pressiden Joko Widodo di Pilpres 2019. Padahal, Wiranto tak pernah terdengar di bursa cawapres.
Wiranto yang turut hadir dalam acara tersebut seolah tak percaya dengan pernyataan yang dilontarkan OSO. Raut wajahnya tampak kikuk dan terheran-heran atas pernyataan yang bisa memicu reaksi sejumlah pihak keluar dari mulut seorang ketum partai tanpa koordinasi sebelumnya.
Baca: Wiranto Bantah Terima Rp200 Miliar dari OSO
"Enggak bilang-bilang," ucap Wiranto seraya menyalami OSO.
Wiranto sendiri ogah memikirkan bursa Pilpres 2019. Bahkan, ia sendiri sama sekali tidak pernah membicarakan soal cawapres dengan Presiden Joko Widodo.
"Begini ya saya ini kan sekarang dapat tugas dari Presiden untuk membantu beliau. Kita ini punya komitmen. Pak OSO punya komitmen. Jadi sekarang ini biarlah saya konsentrasi sepenuhnya kepada tugas yang saya selesaikan sebagai menko polhukam," kata Wiranto.
OSO berkelakar sosok Wiranto bisa menjadi komoditas politik pendongkrak suara Partai Hanura. "Partai orang ada yang mencalonkan presiden. Kalau kita sederhana sebagai wapres saja. Masa seorang seperti Wiranto yang berpengalaman panglima TNI, menko polhukam, capres, cawapres enggak boleh? Sah-sah saja," ucap OSO dengan santainya.
Sementara itu, semestinya OSO memikirkan bagaimana menyelesaikan dualisme partai. Kasus ini berkontribusi menggerogoti elektabilitas partai ketimbang gembar-gembor usung cawapres.
Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis akhir bulan lalu, elektabilitas Partai Hanura hanya 0,7 persen. Dia berada di urutan buncit di antara partai-partai lainnya. Artinya, Partai Hanura terancam tak lolos ambang batas parlemen yang ditetapkan dalam UU Pemilu sebesar 4 persen suara sah nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OGI)