Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. MI/Pius
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. MI/Pius

Wamenkumham: KUHP Baru Hapuskan Orientasi Balas Dendam

Sri Utami • 10 Maret 2023 15:06
Jakarta: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi landasan hukum baru yang tidak hanya demi hukum, tapi juga kemanfaatan. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan misi dari KUHP baru tersebut.
 
“Misi dari KUHP kita dekodifikasi menghilangkan nuansa kolonial di KUHP lama. Tidak lagi berorientasi pada hukum retributif atau balas dendam lewat hukum. Tapi lebih modern keadilan kolektif, restoratif dan lainnya,” ujar Edward dalam sambutan pembukaan Kemenkumham Goes To Campus sekaligus sosialisasi KUHP di Yogyakarta, Jumat, 10 Maret 2023.
 
Misi dari KUHP yang pertama, yakni demokratisasi dan tetap melindungi kebebasan berpendapat lisan dan tulisan. Hukum bukan hanya soal kepastian tapi harus mewujudkan keadilan dan kemanfaatan tanpa pandang bulu.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Hukum itu bukan hanya kepastian, tapi leadilan dan kemanfaatan. Jangka waktu tiga tahun (sosialisasi), karena kita perlu persiapan aturan pelaksanaan KUHP itu sendiri. Dalam bentuk UU dan dalam bentuk peraturan pemerintah," ujar dia.
 
Sementara itu, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan dalam konteks penataan regulasi Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penataan regulasi diperlukan sebagai salah satu prioritas dalam program reformasi hukum. Hal ini bermanifestasi dalam bentuk evaluasi atau review atas berbagai peraturan perundang-undangan agar sejalan dengan jiwa Pancasila, amanat konstitusi, dan kepentingan nasional.
 
“Bahwa kita adalah negara hukum bukan negara undang-undang atau negara peraturan. Oleh karenanya, orientasi setiap kementerian dan lembaga seharusnya bukan lagi memproduksi peraturan yang sebanyak-banyaknya, namun menghasilkan peraturan yang berkualitas yang melindungi rakyat, tidak mempersulit rakyat, tapi justru mempermudah rakyat, yang memberi keadilan bagi rakyat, serta yang tidak tumpang tindih satu dengan yang lain,” papar dia.
 
Baca Juga: MK Tolak Gugatan UU KUHP Terkait Ancaman Pidana bagi Pelaku Unjuk Rasa

Arahan tersebut bukannya tanpa alasan. Terdapat setidaknya dua diagnosis utama permasalahan tata kelola regulasi Indonesia, di antaranya terkait assessment kualitas regulasi yang masih perlu ditingkatkan serta besarnya kuantitas regulasi.
 
Kedua diagnosis tersebut sering berimplikasi pada ketidakpastian dan prevalensi tumpang tindihnya produk hukum yang ada. Di tengah keterbatasan kewenangan pemerintah pusat misalnya dalam menyasar atau membenahi peraturan di tingkat daerah, berbagai langkah dilakukan pemerintah untuk mengurangi kecenderungan hyper regulasi dan memperbaiki kualitas regulasi.
 
“KUHP yang berhasil dibentuk ini pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk penataan regulasi, terutama di sektor hukum pidana. Karena dengan KUHP, penyempurnaan hukum pidana Indonesia dapat tercapai melalui konsolidasi ketentuan pidana dalam berbagai undang-undang sektoral dan pencegahan disparitas pidana antara satu ketentuan dengan ketentuan lainnya. Sehingga lahir suatu bentuk peraturan yang berkualitas,” ungkap dia.
 
Rektor UGM Ova Emilia menuturkan kodifikasi hukum kolonial tidak merefleksikan Indonesia. Lahirnya KUHP baru menjadikan Indonesia salah satu negara asia tenggara yang aturan dasar hukum pidana telah lepas dari kolonial.
 
“Kontroversi adalah biasa tapi meletakkan dinamika itu di posisinya. KUHP ini jalan dekolonialisasi hukum kita. Belanda pada titik kulminasi. KUHP yang telah dibentuk perlu untuk akan lahir menuju pidana hukum indonesia dan berangkat dari cerminan asli Indonesia,” ucap dia.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
(AZF)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif