Jakarta: Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mempertanyakan prosedural pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. RUU ini bukan diusulkan Komisi III selaku mitra kepolisian, tapi dari Badan Legislasi DPR.
"Jadi kalau kita melihat RUU Polri ini, secara prosedur dan substansi, kami sudah mengkritisi. Bagaimana RUU ini muncul dari DPR tapi enggak lewat Komisi III, tapi lewat Baleg dan ini diteruskan saja tanpa masuk Prolegnas, ini kan Jadi pertanyaan," ujar Nurina kepada Medcom.id, Senin, 22 Juli 2024.
Dia juga menyayangkan minimnya partisipasi publik serta transparansi dalam pembahasan RUU Polri. Sebab, seluruh undang-undang yang disahkan Parlemen akan berdampak kepada masyarakat.
"Ini awalnya dari mana? Apakah kemudian sudah melewati tahapan konsultasi masyarakat dan publik sebagai pemilik kepentingan dan akan terdampak dari undang-undang apa pun yang akan disahkan DPR?" ujar Nurina.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia menyoroti revisi UU Polri karena memberikan kekuasaan besar tanpa pengawasan yang kuat. Salah satu poin yang disorot, yakni kewenangan kepolisian diruang siber.
Di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dan q, kepolisian memiliki wewenang patroli siber, pengawasan, bahkan pemblokiran web.
Kewenangan berlebih yang dimiliki Polri di bidang siber ini menimbulkan kekhawatiran kepada masyarakat akibat tidak memberikan batasan yang jelas. Selain itu, muncul ketakutan kepolisian akan menggunakan pasal ini sebagai alat membungkam dan membatasi ruang gerak seseorang dalam mengungkapkan pendapatnya.
Tidak hanya kewenangan siber, revisi UU Polri akan memperbolehkan kewenangan intelijen melalui penyadapan. Melalui Pasal 14 ayat (1) huruf o dan pasal 16 ayat (1) huruf g, yang pada intinya membuka akses kepolisian untuk melakukan penyadapan serta pemeriksaan dokumen elektronik.
Hal ini akan menimbulkan gesekan terhadap UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Sehingga ruang privasi semakin minim.
Jakarta: Media and Campaign Manager Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mempertanyakan prosedural pembahasan revisi
Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. RUU ini bukan diusulkan Komisi III selaku mitra
kepolisian, tapi dari Badan Legislasi
DPR.
"Jadi kalau kita melihat RUU Polri ini, secara prosedur dan substansi, kami sudah mengkritisi. Bagaimana RUU ini muncul dari DPR tapi enggak lewat Komisi III, tapi lewat Baleg dan ini diteruskan saja tanpa masuk Prolegnas, ini kan Jadi pertanyaan," ujar Nurina kepada
Medcom.id, Senin, 22 Juli 2024.
Dia juga menyayangkan minimnya partisipasi publik serta transparansi dalam pembahasan RUU Polri. Sebab, seluruh undang-undang yang disahkan Parlemen akan berdampak kepada masyarakat.
"Ini awalnya dari mana? Apakah kemudian sudah melewati tahapan konsultasi masyarakat dan publik sebagai pemilik kepentingan dan akan terdampak dari undang-undang apa pun yang akan disahkan DPR?" ujar Nurina.
Sebelumnya, Amnesty International Indonesia menyoroti revisi UU Polri karena memberikan kekuasaan besar tanpa pengawasan yang kuat. Salah satu poin yang disorot, yakni kewenangan kepolisian diruang siber.
Di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dan q, kepolisian memiliki wewenang patroli siber, pengawasan, bahkan pemblokiran web.
Kewenangan berlebih yang dimiliki Polri di bidang siber ini menimbulkan kekhawatiran kepada masyarakat akibat tidak memberikan batasan yang jelas. Selain itu, muncul ketakutan kepolisian akan menggunakan pasal ini sebagai alat membungkam dan membatasi ruang gerak seseorang dalam mengungkapkan pendapatnya.
Tidak hanya kewenangan siber, revisi UU Polri akan memperbolehkan kewenangan intelijen melalui penyadapan. Melalui Pasal 14 ayat (1) huruf o dan pasal 16 ayat (1) huruf g, yang pada intinya membuka akses kepolisian untuk melakukan penyadapan serta pemeriksaan dokumen elektronik.
Hal ini akan menimbulkan gesekan terhadap UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Sehingga ruang privasi semakin minim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)