Jakarta: Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya meminta pemerintah segera mengirim daftar inventarisir masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok). Apalagi, DIM itu seharusnya sudah dikirim pada Juni 2022.
"Pemerintah sudah menjanjikan sampai pada Juni 2022, ini sudah masuk Juli 2022 tapi tidak ada kabar apa pun dari pihak terkait. Kami mempertanyakan kemauan politik pemerintah, khususnya Kemendikbudristek terkait hal ini," kata Willy di Jakarta, Rabu, 6 Juli 2022.
Willy yang merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Dikdok menduga ada pihak pro status quo yang terganggu dengan rencana revisi aturan terkait pendidikan kedokteran. Menurut dia, para pihak yang terganggu tersebut selalu berlindung di balik dalih pengintegrasian dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran atau rencana revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Sebab pada kenyataannya, semua masih jalan di tempat. Ini ada langkah progresif atas masalah yang hingga saat ini realtime terjadi, namun mereka begitu resisten terhadapnya, ada apa ini," ujarnya.
Willy menilai banyak masalah terkait penyelenggaraan sistem kesehatan nasional di Indonesia. Misalnya, pembukaan fakultas kedokteran yang terkesan janggal dan berorientasi pasar hingga sedikitnya alokasi dokter spesialis di daerah-daerah pinggiran.
Dia mencontohkan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang basis keilmuannya pertanian bisa membuka Fakultas Kedokteran sehingga jangan sampai ada kesan pembangunan tenaga kesehatan di Indonesia hanya berdasarkan logika pasar.
"Kenyataan itu belum ditambah dengan masalah biaya masuk, biaya kelulusan, hingga alokasi tenaga kesehatan berbasis kebutuhan," katanya.
Dia menyoroti biaya kuliah di fakultas kedokteran, yaitu mekanisme yang berlaku seperti biaya masuk dan kelulusan lebih mahal dibandingkan fakultas-fakultas lain. "Parahnya, semua pihak seperti sudah memaklumi bahwa biaya kesehatan memang mahal harganya. Ini menurut saya sesat pikir yang paling nyata," ujarnya.
Willy menegaskan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari upaya membangun sistem layanan kesehatan yang terakses, terjangkau, dan memanusiakan manusia. Dia mengatakan sudah terlalu sering masyarakat mendengar bagaimana di wilayah pedalaman tidak ada tenaga kesehatan sama sekali dan sebuah puskesmas tidak memiliki dokter spesialis.
"Fenomena dokter Lie Dharmawan dengan RS Apungnya tentu sebuah bentuk kebajikan, namun di sisi lain, itu salah satu bentuk bolongnya negara melayani warganya, terutama di sektor yang paling elementer," katanya.
Dia meminta komitmen Mendikbudristek untuk segera merumuskan DIM RUU Dikdok karena Presiden Jokowi sudah menyerahkan Surat Presiden (Surpres).
Jakarta: Wakil Ketua Badan Legislasi
(Baleg) DPR Willy Aditya meminta pemerintah segera mengirim daftar inventarisir masalah (DIM)
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (
RUU Dikdok). Apalagi, DIM itu seharusnya sudah dikirim pada Juni 2022.
"Pemerintah sudah menjanjikan sampai pada Juni 2022, ini sudah masuk Juli 2022 tapi tidak ada kabar apa pun dari pihak terkait. Kami mempertanyakan kemauan politik pemerintah, khususnya Kemendikbudristek terkait hal ini," kata Willy di Jakarta, Rabu, 6 Juli 2022.
Willy yang merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Dikdok menduga ada pihak pro status quo yang terganggu dengan rencana revisi aturan terkait pendidikan kedokteran. Menurut dia, para pihak yang terganggu tersebut selalu berlindung di balik dalih pengintegrasian dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran atau rencana revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Sebab pada kenyataannya, semua masih jalan di tempat. Ini ada langkah progresif atas masalah yang hingga saat ini realtime terjadi, namun mereka begitu resisten terhadapnya, ada apa ini," ujarnya.
Willy menilai banyak masalah terkait penyelenggaraan sistem kesehatan nasional di Indonesia. Misalnya, pembukaan fakultas kedokteran yang terkesan janggal dan berorientasi pasar hingga sedikitnya alokasi dokter spesialis di daerah-daerah pinggiran.
Dia mencontohkan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang basis keilmuannya pertanian bisa membuka Fakultas Kedokteran sehingga jangan sampai ada kesan pembangunan tenaga kesehatan di Indonesia hanya berdasarkan logika pasar.
"Kenyataan itu belum ditambah dengan masalah biaya masuk, biaya kelulusan, hingga alokasi tenaga kesehatan berbasis kebutuhan," katanya.
Dia menyoroti biaya kuliah di fakultas kedokteran, yaitu mekanisme yang berlaku seperti biaya masuk dan kelulusan lebih mahal dibandingkan fakultas-fakultas lain. "Parahnya, semua pihak seperti sudah memaklumi bahwa biaya kesehatan memang mahal harganya. Ini menurut saya sesat pikir yang paling nyata," ujarnya.
Willy menegaskan revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari upaya membangun sistem layanan kesehatan yang terakses, terjangkau, dan memanusiakan manusia. Dia mengatakan sudah terlalu sering masyarakat mendengar bagaimana di wilayah pedalaman tidak ada tenaga kesehatan sama sekali dan sebuah puskesmas tidak memiliki dokter spesialis.
"Fenomena dokter Lie Dharmawan dengan RS Apungnya tentu sebuah bentuk kebajikan, namun di sisi lain, itu salah satu bentuk bolongnya negara melayani warganya, terutama di sektor yang paling elementer," katanya.
Dia meminta komitmen Mendikbudristek untuk segera merumuskan DIM RUU Dikdok karena Presiden Jokowi sudah menyerahkan Surat Presiden (Surpres).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)