Jakarta: Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menyebut ide presiden dipilih MPR hingga perpanjangan masa jabatan kepala negara membutuhkan restu rakyat. Perubahan konstitusi tidak bisa hanya berdasarkan suara elite partai politik.
"Itu harus dikonsolidasikan dan berdasarkan kepada kehendak rakyat," kata Nasir di Hotel Ibis Thamrin, Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu 20 November 2019.
Menurut dia, salah satu cara mendapatkan restu rakyat yakni melalui referendum. Dari metode pemungutan suara untuk pengambilan keputusan itu, suara masyarakat apakah menyetujui dua rencana itu bisa terlihat.
Namun, referendum tidak boleh hanya menanyakan masyarakat setuju atau tidak dengan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Publik harus diberikan pemahaman mendetail soal landasan perubahan dua wacana itu.
"Harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa ada yang bolong dari amendemen sekarang, sehingga harus jelas apa yang harus diubah," ucap Nasir.
Nasir mengatakan baru beberapa fraksi partai yang resmi mengajukan dua rencana itu di MPR. Dia meminta rencana perubahan itu harus digagas dengan matang.
"Di samping ngotot, juga harus ngotak sehingga semuanya bisa didasari pandangan objektif," tutur Nasir.
Saat ini, belum ada rencana pembahasan lanjutan soal masalah ini. Nasir mengatakan dua wacana ini masih memiliki perjalanan panjang.
"Peta kekuatan di MPR masih ingin menggagas apa yang dia inginkan. Jadi ini belum terpikirkan dengan baik. Belum ada satu pun konsolidasi ide terkait isu dan wacana terkait hal tersebut," tutur Nasir.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sempat mengusulkan presiden dan wakil presiden kembali dipilih MPR. Rekomendasi PBNU kepada MPR itu berdasarkan hasil musyawarah alim ulama di Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat, pada 2012.
"Intinya, PBNU merasa pemilihan presiden dan wapres (wakil presiden) lebih bermanfaat, bukan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya, lebih baik dikembalikan ke MPR ketimbang (dipilih rakyat) langsung," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo usai bertemu Ketua PBNU Said Aqil Siroj, Rabu, 27 November 2019.
Sementara itu, Istana Kepresidenan menegaskan presiden tetap harus dipilih langsung rakyat. Presiden Joko Widodo tak mau sistem pemilihan presiden dikembalikan kepada MPR.
"Beliau (Jokowi) tegas mengatakan, 'Saya lahir dari pemilihan presiden secara langsung. Karena itu, saya akan tetap mendukung pemilihan presiden secara langsung, tidak melalui MPR'," kata juru bicara Presiden Fadjroel Rachman.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/8kog433k" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil menyebut ide presiden dipilih MPR hingga perpanjangan masa jabatan kepala negara membutuhkan restu rakyat. Perubahan konstitusi tidak bisa hanya berdasarkan suara elite partai politik.
"Itu harus dikonsolidasikan dan berdasarkan kepada kehendak rakyat," kata Nasir di Hotel Ibis Thamrin, Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu 20 November 2019.
Menurut dia, salah satu cara mendapatkan restu rakyat yakni melalui referendum. Dari metode pemungutan suara untuk pengambilan keputusan itu, suara masyarakat apakah menyetujui dua rencana itu bisa terlihat.
Namun, referendum tidak boleh hanya menanyakan masyarakat setuju atau tidak dengan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Publik harus diberikan pemahaman mendetail soal landasan perubahan dua wacana itu.
"Harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa ada yang bolong dari amendemen sekarang, sehingga harus jelas apa yang harus diubah," ucap Nasir.
Nasir mengatakan baru beberapa fraksi partai yang resmi mengajukan dua rencana itu di MPR. Dia meminta rencana perubahan itu harus digagas dengan matang.
"Di samping ngotot, juga harus
ngotak sehingga semuanya bisa didasari pandangan objektif," tutur Nasir.
Saat ini, belum ada rencana pembahasan lanjutan soal masalah ini. Nasir mengatakan dua wacana ini masih memiliki perjalanan panjang.
"Peta kekuatan di MPR masih ingin menggagas apa yang dia inginkan. Jadi ini belum terpikirkan dengan baik. Belum ada satu pun konsolidasi ide terkait isu dan wacana terkait hal tersebut," tutur Nasir.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sempat mengusulkan presiden dan wakil presiden kembali dipilih MPR. Rekomendasi PBNU kepada MPR itu berdasarkan hasil musyawarah alim ulama di Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat, pada 2012.
"Intinya, PBNU merasa pemilihan presiden dan wapres (wakil presiden) lebih bermanfaat, bukan lebih baik, lebih tinggi kemaslahatannya, lebih baik dikembalikan ke MPR ketimbang (dipilih rakyat) langsung," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo usai bertemu Ketua PBNU Said Aqil Siroj, Rabu, 27 November 2019.
Sementara itu, Istana Kepresidenan menegaskan presiden tetap harus dipilih langsung rakyat. Presiden Joko Widodo tak mau sistem pemilihan presiden dikembalikan kepada
MPR.
"Beliau (Jokowi) tegas mengatakan, 'Saya lahir dari pemilihan presiden secara langsung. Karena itu, saya akan tetap mendukung pemilihan presiden secara langsung, tidak melalui MPR'," kata juru bicara Presiden Fadjroel Rachman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)