Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Perppu Cipta Kerja Dinilai Melanggengkan Pasal yang Mengancam Lingkungan Hidup

Achmad Zulfikar Fazli • 06 Januari 2023 08:58
Jakarta: Satya Bumi menyesalkan langkah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja (Ciptaker) untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Deputi Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien menyebut substansi Perppu Ciptaker tak banyak berbeda dengan UU Ciptaker yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
 
"Perppu Cipta Kerja menyalin pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang berbahaya bagi lingkungan hidup," tutur Andi, Jakarta, Jumat, 6 Januari 2023.
 
Dia menjelaskan Perppu Ciptaker mengadopsi UU Ciptaker yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat (yang sebelumnya diatur dalam UU Kehutanan).

Sebelum direvisi dalam omnibus law, UU Kehutanan mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi, UU Cipta Kerja, yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perppu, menghapus ketentuan tersebut, untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
 
Perppu Ciptaker juga masih mempertahankan aturan dalam UU Cipta Kerja yang memangkas hak masyarakat adat dalam penyusunan amdal. Penyusunan amdal hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Pembatasan ini berpotensi mengesampingkan dampak jangka panjang atas lingkungan hidup dan mereduksi asas proporsionalitas penyusunan amdal. 
 
Pasal 'pemutihan' atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga masih dipertahankan. Baik UU maupun Perppu Ciptaker tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan, yang telah beroperasi sejak sebelum aturan berlaku.
 

Baca Juga: DPR Pastikan Tak Akan Ada Pemakzulan Jokowi karena Perppu Ciptaker


UU Ciptaker memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dalam kurun waktu tiga tahun. Dalam Perppu, isinya tak jauh beda, hanya menyebutkan spesifik batas waktu sampai 2 November 2023.
 
Berikutnya, pasal yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat penolak tambang masih muncul dalam Pasal 162 Perppu Ciptaker yang isinya sama persis dengan UU Cipta Kerja. Aturan ini berpotensi menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengkriminilisasi masyarakat yang menolak kegiatan tambang.
 
Pasal tersebut mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).
 
"Jadi berdasarkan catatan di atas, pandangan kami soal subtansi tidak berubah, bahwa UU Ciptaker, yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perppu, ini memang mempreteli kerangka perlindungan lingkungan dan sosial," ujar Andi. 
 
Menurut Andi, boleh saja jika pemerintah ingin melakukan deregulasi untuk memangkas atau menghapus aturan yang menghambat aktivitas ekonomi atau gerak birokrasi. "Tapi deregulasi yang dilakukan saat ini sudah kebablasan. UU Cipta Kerja yang kini dilanjutkan dalam bentuk Perppu ini, lebih-lebih sampai menghilangkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia,' tutur dia.
 
Andi menilai Perppu Cipta Kerja merupakan langkah pintas negara yang enggan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan pengelabuan dengan memakai dalih persoalan perubahan ikllim dan investasi sebagai alasan kegentingan memaksa. Dia menilai negara seperti 'memaksakan kegentingan' untuk menerbitkan Perppu.
 
"Kita tidak membutuhkan perbaikan dengan Perppu, tapi dengan undang-undang yang proses pembentukannya dilakukan dengan transparan serta menyertakan partisipasi bermakna masyarakat dan stakeholder terkait sesuai putusan MK," tuturnya.
 
Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan penerbitan Perppu tersebut dan meminta DPR menolak langkah Presiden menerbitkan Perppu Ciptaker. MK juga diharapkan menyatakan pembentukan Perppu Ciptaker tidak sesuai dengan konstitusi.
 
"Penerbitan Perppu ini berpotensi besar akan menciptakan kegentingan baru yang memporak-porandakan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik yang sedang kita bangun. Kepemimpinan Presiden Jokowi di periode terakhirnya semestinya mampu memberikan warisan yang baik, bukan malah sebaliknya," ujar Annisa.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan