“Indonesia dan Singapura pernah meneken perjanjian ekstradisi pada 2007. Pertanyaan saya, apa perbedaannya? Kalau hanya asas retroaktif yang berubah dari 15 tahun menjadi 18 tahun, itu tidak signifikan,” ujarnya dalam tayangan Metro Pagi Primetime di Metro TV, Kamis, 27 Januari 2022.
Lebih lanjut, Hikmahanto menjelaskan bahwa pada 2007 fokus Pemerintah Indonesia adalah menangkap buronan yang terlibat dalam kasus Badan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Asas retroaktif 15 tahun itu mampu menjangkau peristiwa BLBI yang notabenenya terjadi pada 1998.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Kalau pada 2022 berlaku asas retroaktif 18 tahun, itu bahkan tidak sampai mendekati kasus BLBI 1998-1999,” kata Hikmahanto.
Dia juga menyebut bahwa Singapura memiliki siasat yang cerdik. Berkaca dari peristiwa 2007 tersebut, Singapura memaketkan perjanjian ekstradisi dengan perjanjian pertahanan.
Baca: Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Perkuat Komitmen Penegakan Hukum
Kala itu, Pemerintah Singapura meminta agar pasukannya diperbolehkan latihan militer di wilayah Indonesia. Ironisnya, dalam perjanjian ekstradisi yang diteken pada Selasa, 25 Januari 2022, itu disebutkan bahwa perjanjian pertahanan itu harus dilanjutkan.
“Mereka (Singapura) akhirnya bisa mendapat perjanjian pertahanan yang pada 2007 menjadi kontroversi. Waktu itu, masyarakat Indonesia tidak mau kedaulatannya ditukar dengan buron,” tutur Hikmahanto.
Selain itu, flight information region (FIR) yang konon sudah bisa diambil alih oleh Indonesia, faktanya tak bisa dikendalikan sepenuhnya. Sebab, dalam perjanjian ekstradisi, disebutkan bahwa ketinggian nol sampai 3.700 kaki di wilayah tertentu didelegasikan dari Pemerintah Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. (Nurisma Rahmatika)