Jakarta: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak menentang pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Asal aturan tersebut tidak melanggar norma.
"Tiidak menabrak nilai-nilai agama maupun sosial-budaya yang hidup di negara kita ini," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arsul Sani kepada Medcom.id, Rabu, 21 Oktober 2020.
Wakil Ketua MPR itu menjamin partainya ikut terlibat dalam pembahasan RUU PKS. Fraksi PPP akan melihat rancangan beleid pasal per pasal dengan mendalam agar aturan yang dilahirkan proporsional.
PPP berpandangan aturan tersebut harus memperhatikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belum disahkan. Sebab, RUU PKS memuat banyak ketentuan pidana.
DPR, kata dia, sepakat menjadikan KUHP yang tengah direvisi sebagai induk hukum pidana Indonesia. Aturan sektoral yang memiliki ketentuan hukum pidana cukup mengacu ke KUHP.
"Apa pun yang ada ketentuan hukum pidananya tidak keluar dari framework (kerangka) yang diletakkan dalam KUHP baru," sebut dia.
Baca: Komnas Perempuan: Indonesia Butuh UU PKS
Anggota Komisi III itu tak mempermasalahkan pembahasan hingga pengesahan RUU PKS dilakukan sebelum KUHP rampung. Asal, ketentuan pidana kekerasan seksual dikeluarkan dari RUU PKS.
"Kalau mau di luar KUHP maka sebaiknya tunggu pembahasan KUHP-nya selesai. Sehingga jelas mana yang belum diatur KUHP dan perlu diatur dalam UU sendiri," ujar dia.
Jakarta: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak menentang pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (
RUU PKS). Asal aturan tersebut tidak melanggar norma.
"Tiidak menabrak nilai-nilai agama maupun sosial-budaya yang hidup di negara kita ini," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arsul Sani kepada
Medcom.id, Rabu, 21 Oktober 2020.
Wakil Ketua MPR itu menjamin partainya ikut terlibat dalam pembahasan RUU PKS. Fraksi PPP akan melihat rancangan beleid pasal per pasal dengan mendalam agar aturan yang dilahirkan proporsional.
PPP berpandangan aturan tersebut harus memperhatikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belum disahkan. Sebab, RUU PKS memuat banyak ketentuan pidana.
DPR, kata dia, sepakat menjadikan KUHP yang tengah direvisi sebagai induk hukum pidana Indonesia. Aturan sektoral yang memiliki ketentuan hukum pidana cukup mengacu ke KUHP.
"Apa pun yang ada ketentuan hukum pidananya tidak keluar dari
framework (kerangka) yang diletakkan dalam KUHP baru," sebut dia.
Baca:
Komnas Perempuan: Indonesia Butuh UU PKS
Anggota Komisi III itu tak mempermasalahkan pembahasan hingga pengesahan RUU PKS dilakukan sebelum KUHP rampung. Asal, ketentuan pidana
kekerasan seksual dikeluarkan dari RUU PKS.
"Kalau mau di luar KUHP maka sebaiknya tunggu pembahasan KUHP-nya selesai. Sehingga jelas mana yang belum diatur KUHP dan perlu diatur dalam UU sendiri," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)