Jakarta: Rapat kerja Komisi I DPR dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono pada Kamis, 6 Mei 2021, dikritik. Pasalnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tak dilibatkan dalam pembahasan tenggelamnya KRI Nanggala-402 itu.
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mendorong Komisi I DPR mengundang Prabowo untuk mengevaluasi alat utama sistem pertahanan (alutsista). Evaluasi ini harus menjadi bagian dari langkah memperbaiki menyeluruh sistem pertahanan Indonesia.
Menurut dia, keterlibatan Prabowo dalam evaluasi alutsista sangat dibutuhkan. Hal tersebut sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Baca: KRI Nanggala Biasa Menembakkan Torpedo SUT
Arjuna menyebut Pasal 16 beleid itu mengutarakan tanggung jawab Menhan. Salah satunya, Menhan berwenang menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI.
“Kita evaluasi secara objektif saja berdasarkan tugas dan wewenang yang diatur dalam UU. Jelas peremajaan dan modernisasi alutsista merupakan tanggung jawab Menhan," kata Arjuna dalam keterangan tertulis, Jumat, 7 Mei 2021.
Aturan tersebut, kata dia, menegaskan berakhirnya Orde Baru, di mana TNI sebagai militer berada di bawah supremasi sipil. Artinya, seluruh kebutuhan pertahanan termasuk modernisasi alutsista menjadi kewenangan Kementerian Pertahanan.
"Hal ini sejalan dengan cita-cita reformasi yang menempatkan militer di bawah supremasi sipil yaitu Menhan sebagai pengguna anggaran. Jadi tidak masalah jika dilakukan audit untuk memperbaiki performa alutsista kita”, kata Arjuna
Di sisi lain, dia meminta Prabowo adil menjalankan tugas. DPR juga diminta tak segan menghadirkan Menhan, meski menjabat Ketua Umum Partai Gerindra. Arjuna menyebut Prabowo harus menerima evaluasi dari DPR.
“Saya kira Pak Prabowo adalah seorang prajurit, seyogianya bisa menempatkan kepentingan bangsa dan negara serta hajat hidup orang banyak di atas kepentingan golongan dan kelompoknya. Evaluasi dan audit sebuah kebijakan adalah hal yang wajar dilakukan di negara demokrasi," kata Arjuna.
Jakarta: Rapat kerja Komisi I DPR dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono pada Kamis, 6 Mei 2021, dikritik. Pasalnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tak dilibatkan dalam pembahasan tenggelamnya
KRI Nanggala-402 itu.
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mendorong Komisi I DPR mengundang Prabowo untuk mengevaluasi alat utama sistem pertahanan (
alutsista). Evaluasi ini harus menjadi bagian dari langkah memperbaiki menyeluruh sistem pertahanan Indonesia.
Menurut dia, keterlibatan Prabowo dalam evaluasi alutsista sangat dibutuhkan. Hal tersebut sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Baca:
KRI Nanggala Biasa Menembakkan Torpedo SUT
Arjuna menyebut Pasal 16 beleid itu mengutarakan tanggung jawab Menhan. Salah satunya, Menhan berwenang menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI.
“Kita evaluasi secara objektif saja berdasarkan tugas dan wewenang yang diatur dalam UU. Jelas peremajaan dan modernisasi alutsista merupakan tanggung jawab Menhan," kata Arjuna dalam keterangan tertulis, Jumat, 7 Mei 2021.
Aturan tersebut, kata dia, menegaskan berakhirnya Orde Baru, di mana TNI sebagai militer berada di bawah supremasi sipil. Artinya, seluruh kebutuhan pertahanan termasuk modernisasi alutsista menjadi kewenangan Kementerian Pertahanan.
"Hal ini sejalan dengan cita-cita reformasi yang menempatkan militer di bawah supremasi sipil yaitu Menhan sebagai pengguna anggaran. Jadi tidak masalah jika dilakukan audit untuk memperbaiki performa alutsista kita”, kata Arjuna
Di sisi lain, dia meminta Prabowo adil menjalankan tugas. DPR juga diminta tak segan menghadirkan Menhan, meski menjabat Ketua Umum Partai Gerindra. Arjuna menyebut Prabowo harus menerima evaluasi dari DPR.
“Saya kira Pak Prabowo adalah seorang prajurit, seyogianya bisa menempatkan kepentingan bangsa dan negara serta hajat hidup orang banyak di atas kepentingan golongan dan kelompoknya. Evaluasi dan audit sebuah kebijakan adalah hal yang wajar dilakukan di negara demokrasi," kata Arjuna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)