Jakarta: Tingginya keterlibatan influencer dalam setiap kebijakan pemerintah dinilai berdampak buruk. Khususnya memuluskan isu kontroversial di publik.
"Penggunaan influencer yang dikhawatirkan adalah dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas guna memuluskan sebuah kebijakan publik," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dalam diskusi virtual bertajuk 'Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?', Kamis, 20 Agustus 2020.
Egi mengatakan hal itu tidak sehat bagi negara demokrasi. Pasalnya berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun.
"Akhirnya berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik tentang kebijakan itu," ujar Egi.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan influencer bersuara karena pesanan. Ini sama dengan iklan. Namun, dalam beberapa kondisi, influencer dinilai tidak bisa memilah tawaran yang mesti diambil.
(Baca: ICW: Pemerintah Gelontorkan Rp90,45 Miliar untuk Influencer)
"Ada kondisi yang tidak diberitahukan. Karena pendapatnya bukan karena pertimbangan sendiri tapi karena dibayar," ujar Asfin.
Situasi tersebut berdampak kepada masyarakat yang tidak bisa membedakan suara pribadi dan iklan. Sehingga sebagian masyarakat secara sadar membenarkan yang disampaikan influencer.
"Pemisahan yang tegas antara mana yang iklan, mana yang pesanan, dan mana yang genuine. Itu yang sulit kita temukan akhir-akhir ini dengan fenomena influencer atau buzzer ini," ucap Asfin.
Sebelumnya, ICW menemukan anggaran senilai Rp90,45 miliar digunakan pemerintah pusat untuk aktivitas influencer pada 2017-2020. Aktivitas influencer digunakan pada sejumlah kementerian.
Jakarta: Tingginya keterlibatan
influencer dalam setiap kebijakan pemerintah dinilai berdampak buruk. Khususnya memuluskan isu kontroversial di publik.
"Penggunaan
influencer yang dikhawatirkan adalah dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas guna memuluskan sebuah kebijakan publik," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dalam diskusi virtual bertajuk 'Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?', Kamis, 20 Agustus 2020.
Egi mengatakan hal itu tidak sehat bagi negara demokrasi. Pasalnya berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun.
"Akhirnya berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik tentang kebijakan itu," ujar Egi.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan
influencer bersuara karena pesanan. Ini sama dengan iklan. Namun, dalam beberapa kondisi,
influencer dinilai tidak bisa memilah tawaran yang mesti diambil.
(Baca:
ICW: Pemerintah Gelontorkan Rp90,45 Miliar untuk Influencer)
"Ada kondisi yang tidak diberitahukan. Karena pendapatnya bukan karena pertimbangan sendiri tapi karena dibayar," ujar Asfin.
Situasi tersebut berdampak kepada masyarakat yang tidak bisa membedakan suara pribadi dan iklan. Sehingga sebagian masyarakat secara sadar membenarkan yang disampaikan
influencer.
"Pemisahan yang tegas antara mana yang
iklan, mana yang pesanan, dan mana yang
genuine. Itu yang sulit kita temukan akhir-akhir ini dengan fenomena
influencer atau
buzzer ini," ucap Asfin.
Sebelumnya, ICW menemukan anggaran senilai Rp90,45 miliar digunakan pemerintah pusat untuk aktivitas
influencer pada 2017-2020. Aktivitas
influencer digunakan pada sejumlah kementerian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)