Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membeberkan sejumlah indikator penceramah radikal. Indikator ini sebagai peringatan agar meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi terorisme.
"Sejak awal kami (BNPT) sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme," Dikretur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid, Sabtu, 5 Maret 2022.
Ahmad menyebut radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme. Penceramah biasanya selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.
Menurut Ahmad, seluruh indikator ada pada materi ceramah. Masyarakat diharap tidak hanya melihat tampilan penceramah.
Pertama, kata dia, penceramah biasanya mengajarkan antipancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, penceramah mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak berbeda paham maupun agama.
Ketiga, penceramah menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah. Penceramah akan menunjukkan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.
Keempat, penceramah memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan, termasuk intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Terakhir, penceramah biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
"Mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan keragaman," kata dia.
Ahmad menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi. Salah satunya, menanamkan doktrin dan narasi ke masyarakat.
"Ada tiga strategi yang dilakukan kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang, bahkan menyesatkan sejarah bangsa," kata dia.
Baca: Polri Tindak Tegas Anggota yang Undang Penceramah Radikal
Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Sedangkan terakhir, mengadu domba antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan SARA.
Ahmad menyebut strategi ini dilakukan dengan politisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme. Kemudian, agama dengan kebudayaan luhur bangsa.
Menurut Ahmad, penanaman paham ini dilakukan secara masif di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Termasuk, melalui penceramah radikal tersebut.
"Inilah yang harus menjadi kewaspadaan kita bersama dan sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme ini salah satunya adalah jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat," tegas dia.
Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) membeberkan sejumlah indikator
penceramah radikal. Indikator ini sebagai peringatan agar meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi
terorisme.
"Sejak awal kami (BNPT) sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme," Dikretur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid, Sabtu, 5 Maret 2022.
Ahmad menyebut
radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme. Penceramah biasanya selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama.
Menurut Ahmad, seluruh indikator ada pada materi ceramah. Masyarakat diharap tidak hanya melihat tampilan penceramah.
Pertama, kata dia, penceramah biasanya mengajarkan antipancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Kedua, penceramah mengajarkan paham
takfiri yang mengkafirkan pihak berbeda paham maupun agama.
Ketiga, penceramah menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah. Penceramah akan menunjukkan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba,
hate speech, dan sebaran hoaks.
Keempat, penceramah memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan, termasuk intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas). Terakhir, penceramah biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
"Mengenali ciri-ciri penceramah jangan terjebak pada tampilan, tetapi isi ceramah dan cara pandang mereka dalam melihat persoalan keagamaan yang selalu dibenturkan dengan wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan keragaman," kata dia.
Ahmad menegaskan strategi kelompok radikalisme memang bertujuan menghancurkan Indonesia melalui berbagai strategi. Salah satunya, menanamkan doktrin dan narasi ke masyarakat.
"Ada tiga strategi yang dilakukan kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilang, bahkan menyesatkan sejarah bangsa," kata dia.
Baca:
Polri Tindak Tegas Anggota yang Undang Penceramah Radikal
Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Sedangkan terakhir, mengadu domba antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan SARA.
Ahmad menyebut strategi ini dilakukan dengan politisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme. Kemudian, agama dengan kebudayaan luhur bangsa.
Menurut Ahmad, penanaman paham ini dilakukan secara masif di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Termasuk, melalui penceramah radikal tersebut.
"Inilah yang harus menjadi kewaspadaan kita bersama dan sejak awal untuk memutus penyebaran infiltrasi radikalisme ini salah satunya adalah jangan asal pilih undang penceramah radikal ke ruang-ruang edukasi keagamaan masyarakat," tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)