Jakarta: Pelibatan TNI menangani terorisme dinilai tidak membutuhkan undang-undang (UU) baru. Hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Tidak (dibutuhkan UU baru) kan itu sudah diatur secara khusus," kata Anggota Komisi I Syaifullah Tamliha di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 11 Agustus 2020.
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, TNI diberi ruang terlibat dalam penindakan teror. "Kita merevisi UU tentang tindak pidana teroris itu dalam rangka memberikan ruang bagi TNI untuk terlibat," ungkap dia.
Pelibatan TNI tertuang dalam tiga ayat pada Pasal 43 I UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada ayat satu dari Pasal 43 I berbunyi, tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Ayat dua Pasal 43 I menjelaskan dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Tamliha menjelaskan salah satu alasan TNI dilibatkan dalam menindak teroris untuk menutupi keterbatasan Polri. Terutama dalam bergerilya di hutan.
"Buktinya, Santoso yang di dalam hutan kan yang menangkap dan menembaknya TNI," ujar dia.
Baca: Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Tak Cukup Lewat Perpres
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menyatakan pelibatan TNI menangani terorisme harus berdasarkan UU. Dasar hukum melalui Peraturan Presiden (Perpres) dinilai tidak kuat.
“Perlu diatur dengan UU tersendiri bukan dengan perpres. Perpres tidak cukup memberikan dasar,” kata Petrus di Jakarta, Senin, 10 Agustus 2020.
Petrus menjelaskan terorisme menjadi konsensus nasional sebagai tindak pidana. UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan, penegakan hukum berada di bawah Polri dan pijakan hukum acaranya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal ini mewajibkan pelibatan TNI mesti berdasarkan UU. Dia khawatir ada penyalahgunaan, pencampuran, bahkan penindakan yang sewenang-wenang oleh TNI.
“Sehingga dibutuhkan UU agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan supremasi TNI dalam tugas sipil,” tutur advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu.
Jakarta: Pelibatan TNI menangani terorisme dinilai tidak membutuhkan undang-undang (UU) baru. Hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Tidak (dibutuhkan UU baru) kan itu sudah diatur secara khusus," kata Anggota Komisi I Syaifullah Tamliha di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 11 Agustus 2020.
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, TNI diberi ruang terlibat dalam penindakan teror. "Kita merevisi UU tentang tindak pidana teroris itu dalam rangka memberikan ruang bagi TNI untuk terlibat," ungkap dia.
Pelibatan TNI tertuang dalam tiga ayat pada Pasal 43 I UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada ayat satu dari Pasal 43 I berbunyi, tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Ayat dua Pasal 43 I menjelaskan dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Tamliha menjelaskan salah satu alasan TNI dilibatkan dalam menindak teroris untuk menutupi keterbatasan Polri. Terutama dalam bergerilya di hutan.
"Buktinya, Santoso yang di dalam hutan kan yang menangkap dan menembaknya TNI," ujar dia.
Baca: Pelibatan TNI Tangani Terorisme Dinilai Tak Cukup Lewat Perpres
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menyatakan pelibatan TNI menangani terorisme harus berdasarkan UU. Dasar hukum melalui Peraturan Presiden (Perpres) dinilai tidak kuat.
“Perlu diatur dengan UU tersendiri bukan dengan perpres. Perpres tidak cukup memberikan dasar,” kata Petrus di Jakarta, Senin, 10 Agustus 2020.
Petrus menjelaskan terorisme menjadi konsensus nasional sebagai tindak pidana. UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan, penegakan hukum berada di bawah Polri dan pijakan hukum acaranya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal ini mewajibkan pelibatan TNI mesti berdasarkan UU. Dia khawatir ada penyalahgunaan, pencampuran, bahkan penindakan yang sewenang-wenang oleh TNI.
“Sehingga dibutuhkan UU agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan supremasi TNI dalam tugas sipil,” tutur advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)