Jakarta: Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan, negara harus hadir melindungi setiap warganya dengan menempatkan asas praduga tak bersalah, mengesampingkan kepentingan tertentu dalam upaya mendukung inisiatif masyarakat melestarikan lingkungan.
"Jangan sampai inisiatif partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui ruang virtual malah harus berhadapan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," kata dia dalam diskusi 'Perangkap UU ITE terhadap Penggiat Lingkungan dan (Media) Sosial', Rabu, 7 Februari 2024.
Menurut Rerie, esensi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejatinya adalah melindungi seluruh warga negara dalam ruang digital. Secara spesifik, perlindungan dimaksud merujuk pada upaya mencegah tersebarnya informasi palsu, berita bohong, kekerasan virtual, ancaman dan distorsi informasi yang memicu konflik sosial.
Di sisi lain, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dengan menggunakan UU ITE, pejuang lingkungan #SaveKarimunjawa dikriminalisasi karena aktif menyuarakan penolakan terhadap keberadaan tambak udang vaname ilegal yang tersebar masif di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
"Dalam konteks tersebut, negara harus hadir melindungi warga secara menyeluruh dalam ruang virtual tanpa diskriminasi," ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.
Direktur Eksekutif WALHI, Zenzi Suhadi mengungkapkan konstitusi melindungi semua orang dan mereka berhak mendapat lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu, setiap negara wajib terlibat dalam penyelamatan lingkungan hidup. Atas dasar itulah, setiap orang harus berperan melindungi lingkungan hidupnya.
"Konflik terkait lingkungan kerap terjadi, karena ada cara pandang yang berbeda antara masyarakat dan negara. Masyarakat memiliki pedoman hidup terkait aturan benar atau salah dan baik atau buruk," kata dia.
Penilaian itu, tambah dia, sudah dipakai pada praktik keseharian dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan norma dan etika. Sementara negara tidak memandang satu kebijakan atas benar atau salah dan baik atau buruk, tetapi semata berdasarkan legal dan tidak legal.
"Sehingga, ketika ada masyarakat yang melawan legalitas suatu kebijakan, negara menilai masyarakat yang mengkritik kebijakan itu sebagai pihak jahat," ungkapnya.
Akibatnya, Zenzi mengatakan, kerusakan lingkungan Indonesia justru masif terjadi diawali oleh terbitnya kebijakan. Seharusnya, jelas dia, kritik terhadap suatu kebijakan dijadikan dasar untuk mereview kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Satyawan Pudyatmoko berpendapat setiap upaya konservasi di dunia memiliki tiga tujuan utama, yaitu menjaga ekosistem dan mempertahankan proses-proses ekologis penting yang menjadi pengganggu kehidupan manusia.
"Selain itu, perlindungan keanekaragaman spesies dan genetik satwa dan tumbuhan liar dari kepunahan yang terjadi alami. Bila tidak diatur dengan upaya konservasi, kepunahan sejumlah spesies akan lebih cepat," ujarnya.
Tujuan berikutnya adalah pemanfaatan secara lestari untuk menyeimbangkan kepentingan konservasi dan ekonomi. Menurut Setyawan, kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar legal atau tidak legal, karena undang-undang tentang lingkungan hidup selalu dilengkapi aturan Amdal dan aturan-aturan pelaksanaannya.
Setyawan berpendapat hadirnya undang-undang tentang lingkungan hidup itu untuk melindungi wilayah Indonesia dari kerusakan lingkungan dan melindungi kehidupan manusia. Sejumlah tujuan dari kebijakan tersebut, memperlihatkan bahwa kebijakan yang dihadirkan pemerintah bukan didasari dengan legal atau tidak legal semata.
Warga Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Bambang Zakaria mengungkapkan dirinya dan keluarga hidup dan mencari nafkah di lingkungan Karimunjawa berdasarkan budaya yang dikenalnya sejak lahir. Namun, beberapa tahun belakangan ini masyarakat Karimunjawa dipaksa memakai undang-undang dalam mengelola lingkungan.
"Padahal ketika belum ada penerapan undang-undang dalam pengelolaan lingkungan di Karimunjawa dengan mengedepan kebersamaan, lingkungan hidup di Karimunjawa kondisinya jauh lebih baik. Pada 2017 mulai terlihat eksploitasi besar-besaran lingkungan untuk tambak udang di Karimunjawa," katanya.
Dia mengaku fenomena tersebut dan dampaknya sudah coba dilaporkan ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten setempat, serta ke Balai Taman Nasional, namun tidak mendapat respon yang nyata. Pada akhirnya, kondisi eksploitasi Karimunjawa itu disebarkan melalui media sosial oleh aktivis lingkungan yang bergiat di Karimunjawa, tetapi malah dijerat dengan UU ITE.
Menyikapi kondisi tersebut, Setyawan berpendapat, bahwa kawasan tambak udang itu di luar kawasan taman nasional, sehingga di luar kewenangannya untuk menindak. Selain itu, pengelolaan kawasan mangrove juga masih ada problem regulasi, terutama mangrove pada areal penggunaan lain (APL) dan mangrove yang berada di kawasan di luar hutan.
Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan, Kemenkumham RI, Alpius Sarumaha berpendapat bila UU ITE masih dinilai belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu ia menilai perlu segera dilakukan penyempurnaan.
"Solusi untuk penyempurnaan bisa mulai dengan menggali substansi apa yang kurang dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Substansi yang dihasilkan bisa ditambahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan turunan lainnya," kata dia.
Jakarta: Wakil Ketua MPR RI
Lestari Moerdijat mengatakan, negara harus hadir melindungi setiap warganya dengan menempatkan asas praduga tak bersalah, mengesampingkan kepentingan tertentu dalam upaya mendukung inisiatif masyarakat melestarikan
lingkungan.
"Jangan sampai inisiatif partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui ruang virtual malah harus berhadapan dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," kata dia dalam diskusi 'Perangkap UU ITE terhadap Penggiat Lingkungan dan (Media) Sosial', Rabu, 7 Februari 2024.
Menurut Rerie, esensi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejatinya adalah melindungi seluruh warga negara dalam ruang digital. Secara spesifik, perlindungan dimaksud merujuk pada upaya mencegah tersebarnya informasi palsu, berita bohong, kekerasan virtual, ancaman dan distorsi informasi yang memicu konflik sosial.
Di sisi lain, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dengan menggunakan UU ITE, pejuang lingkungan #SaveKarimunjawa dikriminalisasi karena aktif menyuarakan penolakan terhadap keberadaan tambak udang vaname ilegal yang tersebar masif di Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
"Dalam konteks tersebut, negara harus hadir melindungi warga secara menyeluruh dalam ruang virtual tanpa diskriminasi," ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.
Direktur Eksekutif WALHI, Zenzi Suhadi mengungkapkan konstitusi melindungi semua orang dan mereka berhak mendapat lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu, setiap negara wajib terlibat dalam penyelamatan lingkungan hidup. Atas dasar itulah, setiap orang harus berperan melindungi lingkungan hidupnya.
"Konflik terkait lingkungan kerap terjadi, karena ada cara pandang yang berbeda antara masyarakat dan negara. Masyarakat memiliki pedoman hidup terkait aturan benar atau salah dan baik atau buruk," kata dia.
Penilaian itu, tambah dia, sudah dipakai pada praktik keseharian dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan norma dan etika. Sementara negara tidak memandang satu kebijakan atas benar atau salah dan baik atau buruk, tetapi semata berdasarkan legal dan tidak legal.
"Sehingga, ketika ada masyarakat yang melawan legalitas suatu kebijakan, negara menilai masyarakat yang mengkritik kebijakan itu sebagai pihak jahat," ungkapnya.
Akibatnya, Zenzi mengatakan, kerusakan lingkungan Indonesia justru masif terjadi diawali oleh terbitnya kebijakan. Seharusnya, jelas dia, kritik terhadap suatu kebijakan dijadikan dasar untuk mereview kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Satyawan Pudyatmoko berpendapat setiap upaya konservasi di dunia memiliki tiga tujuan utama, yaitu menjaga ekosistem dan mempertahankan proses-proses ekologis penting yang menjadi pengganggu kehidupan manusia.
"Selain itu, perlindungan keanekaragaman spesies dan genetik satwa dan tumbuhan liar dari kepunahan yang terjadi alami. Bila tidak diatur dengan upaya konservasi, kepunahan sejumlah spesies akan lebih cepat," ujarnya.
Tujuan berikutnya adalah pemanfaatan secara lestari untuk menyeimbangkan kepentingan konservasi dan ekonomi. Menurut Setyawan, kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar legal atau tidak legal, karena undang-undang tentang lingkungan hidup selalu dilengkapi aturan Amdal dan aturan-aturan pelaksanaannya.
Setyawan berpendapat hadirnya undang-undang tentang lingkungan hidup itu untuk melindungi wilayah Indonesia dari kerusakan lingkungan dan melindungi kehidupan manusia. Sejumlah tujuan dari kebijakan tersebut, memperlihatkan bahwa kebijakan yang dihadirkan pemerintah bukan didasari dengan legal atau tidak legal semata.
Warga Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Bambang Zakaria mengungkapkan dirinya dan keluarga hidup dan mencari nafkah di lingkungan Karimunjawa berdasarkan budaya yang dikenalnya sejak lahir. Namun, beberapa tahun belakangan ini masyarakat Karimunjawa dipaksa memakai undang-undang dalam mengelola lingkungan.
"Padahal ketika belum ada penerapan undang-undang dalam pengelolaan lingkungan di Karimunjawa dengan mengedepan kebersamaan, lingkungan hidup di Karimunjawa kondisinya jauh lebih baik. Pada 2017 mulai terlihat eksploitasi besar-besaran lingkungan untuk tambak udang di Karimunjawa," katanya.
Dia mengaku fenomena tersebut dan dampaknya sudah coba dilaporkan ke DPRD dan Pemerintah Kabupaten setempat, serta ke Balai Taman Nasional, namun tidak mendapat respon yang nyata. Pada akhirnya, kondisi eksploitasi Karimunjawa itu disebarkan melalui media sosial oleh aktivis lingkungan yang bergiat di Karimunjawa, tetapi malah dijerat dengan UU ITE.
Menyikapi kondisi tersebut, Setyawan berpendapat, bahwa kawasan tambak udang itu di luar kawasan taman nasional, sehingga di luar kewenangannya untuk menindak. Selain itu, pengelolaan kawasan mangrove juga masih ada problem regulasi, terutama mangrove pada areal penggunaan lain (APL) dan mangrove yang berada di kawasan di luar hutan.
Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan, Kemenkumham RI, Alpius Sarumaha berpendapat bila UU ITE masih dinilai belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu ia menilai perlu segera dilakukan penyempurnaan.
"Solusi untuk penyempurnaan bisa mulai dengan menggali substansi apa yang kurang dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Substansi yang dihasilkan bisa ditambahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan turunan lainnya," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(END)