Jakarta: Draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai kontroversi di tengah masyarakat. Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah Pasal 50B ayat 2, lantaran melarang penayangan eksklusif liputan investigasi.
Jurnalis Senior Media Indonesia Abdul Kohar mengatakan pasal ini secara tidak langsung membuat dunia penyiaran bahkan secara umum dunia pers seperti kehilangan nyawa. Lantas menjadi pertanyaan apa alasan hak eksklusif itu dilarang.
"Jantung dari Pers itu baik cetak, elektronik, online, semua ada di investigasi, itu menjadi pembeda," kata Abdul dalam tayangan YouTube Media Indonesia, Jumat, 24 Mei 2024.
Sebagai jurnalis senior, Abdul menilai pada dasarnya investigasi adalah hal yang ekslusif. Jika media tidak memiliki karya investigasi, patut dipertanyakan apa peran media sebagai pilar demokrasi.
Multi tafsir terkait kata investigasi dalam draf RUU tersebut pun muncul. Di antaranya tayangan tidak boleh bersifat eksklusif milik stasiun televisi tertentu, konten tidak boleh didistribusikan ke platform lain meski memiliki lembaga penyiaran, dan lain sebagainya.
"Jadi serba bingung akhirnya menerjemahkan apa yang dimaksud dengan larangan penayangan eksklusif konten investigasi," ucap Abdul.
Menurut Abdul, jika frasa tersebut tetap ada dalam draf UU Penyiaran, tendensinya tetaplah melarang. Padahal, investigasi menunjukan kualitas media itu sendiri, karena memiliki tujuan untuk membongkar sesuatu yang perlu diketahui publik.
Ketidakjelasan dari larangan ini pun menimbulkan narasi liar di tengah masyarakat. Ada yang beranggapan draf ini sebagai upaya bermain aman pihak-pihak tertentu agar tidak dibongkar penyimpangannya, ada pula yang beranggapan liputan investigasi dapat mempengaruhi hakim di pengadilan.
"Kalau tujuannya itu, sama saja menuding bahwa pengadilan kita bisa diintervensi, padahal sudah di declare lembaga peradilan kita itu independen," ungkap Abdul.
Abdul menilai pasal tersebut sangat berbahaya jika lolos dan diberlakukan, untung saja masyarakat ikut meramaikan isu ini. Jika tidak, pers akan kembali ke masa lampau, dimana pers dibungkam.
Jakarta: Draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai kontroversi di tengah masyarakat. Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah Pasal 50B ayat 2, lantaran melarang penayangan eksklusif liputan investigasi.
Jurnalis Senior Media Indonesia Abdul Kohar mengatakan pasal ini secara tidak langsung membuat dunia penyiaran bahkan secara umum
dunia pers seperti kehilangan nyawa. Lantas menjadi pertanyaan apa alasan hak eksklusif itu dilarang.
"Jantung dari Pers itu baik cetak, elektronik, online, semua ada di investigasi, itu menjadi pembeda," kata Abdul dalam tayangan YouTube Media Indonesia, Jumat, 24 Mei 2024.
Sebagai jurnalis senior, Abdul menilai pada dasarnya investigasi adalah hal yang ekslusif. Jika media tidak memiliki karya investigasi, patut dipertanyakan apa peran media sebagai pilar demokrasi.
Multi tafsir terkait kata investigasi dalam draf
RUU tersebut pun muncul. Di antaranya tayangan tidak boleh bersifat eksklusif milik stasiun televisi tertentu, konten tidak boleh didistribusikan ke platform lain meski memiliki lembaga penyiaran, dan lain sebagainya.
"Jadi serba bingung akhirnya menerjemahkan apa yang dimaksud dengan larangan penayangan eksklusif konten investigasi," ucap Abdul.
Menurut Abdul, jika frasa tersebut tetap ada dalam draf
UU Penyiaran, tendensinya tetaplah melarang. Padahal, investigasi menunjukan kualitas media itu sendiri, karena memiliki tujuan untuk membongkar sesuatu yang perlu diketahui publik.
Ketidakjelasan dari larangan ini pun menimbulkan narasi liar di tengah masyarakat. Ada yang beranggapan draf ini sebagai upaya bermain aman pihak-pihak tertentu agar tidak dibongkar penyimpangannya, ada pula yang beranggapan liputan investigasi dapat mempengaruhi hakim di pengadilan.
"Kalau tujuannya itu, sama saja menuding bahwa pengadilan kita bisa diintervensi, padahal sudah di declare lembaga peradilan kita itu independen," ungkap Abdul.
Abdul menilai pasal tersebut sangat berbahaya jika lolos dan diberlakukan, untung saja masyarakat ikut meramaikan isu ini. Jika tidak, pers akan kembali ke masa lampau, dimana pers dibungkam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)