Jakarta: Kebebasan sipil belum mencapai pada titik baik meskipun sudah 26 tahun lahirnya reformasi di Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu itu justru kian terancam.
“Hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Mei 2024.
Dia mengatakan alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, dan mengabaikan cita-cita reformasi. Cara-cara represif yang lazim terjadi di Orde Baru, seperti intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi dan berkumpul masih terjadi di Indonesia.
Salah satu contoh yang belakangan ini sedang menjadi sorotan, yakni soal pembungkaman kebebasan pers. Usman mengatakan ada upaya mengebiri kebebasan pers melalui revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik,” tutur Usman.
Usman mengatakan beberapa bagian draf RUU Penyiaran berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Di antaranya Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik.
Jakarta:
Kebebasan sipil belum mencapai pada titik baik meskipun sudah 26 tahun lahirnya
reformasi di Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu itu justru kian terancam.
“Hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Mei 2024.
Dia mengatakan alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, dan mengabaikan cita-cita reformasi. Cara-cara represif yang lazim terjadi di Orde Baru, seperti intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi dan berkumpul masih terjadi di Indonesia.
Salah satu contoh yang belakangan ini sedang menjadi sorotan, yakni soal pembungkaman kebebasan pers. Usman mengatakan ada upaya mengebiri kebebasan pers melalui revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
“Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik,” tutur Usman.
Usman mengatakan beberapa bagian draf RUU Penyiaran berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Di antaranya Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong, fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)