Ilustrasi Kompleks Parlemen Senayan. MI/Barry Fathahillah
Ilustrasi Kompleks Parlemen Senayan. MI/Barry Fathahillah

DPR Didesak Segera Sahkan RUU PPRT

Media Indonesia • 14 Maret 2024 02:09
Jakarta: DPR didorong segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Semakin lama menunda pengesahan, akan semakin banyak para PRT yang menjadi korban kekerasan tidak bisa terlindungi secara hukum.
 
“Pembahasan RUU PPRT harus segera dilakukan untuk memastikan agar prosesnya tidak mengulang dari awal. Proses RUU PPRT yang sudah dua dekade bergulir waktu sangat panjang dan lama, DPR semestinya memiliki keseriusan menempatkan RUU PPRT menjadi hal yang mendesak untuk memberikan perlindungan bagi PRT dan pemberi kerja dalam relasi hubungan kerja,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, kepada Media Indonesia, Kamis, 13 Maret 2024.
 
Pemerintah juga telah mendorong disahkannya RUU PPRT dengan menyelesaikan pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) RUU PPRT yang dilakukan kementerian/lembaga, salah satunya lewat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), yang dimandatkan Presiden Joko Widodo untuk mengawal pembahasan RUU PPRT.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang KemenPPPA, Priyadi Santosa, mengatakan pihaknya bersama beberapa kementerian/lembaga terus melaporkan kondisi dan urgensitas terkait pengesahan RUU PPRT.
 
“Melihat situasi tahun 2024 ini yang merupakan tahun politik, tentunya berpengaruh kepada pembahasan beberapa RUU di DPR, kita perlu mengambil beberapa langkah strategis untuk mendorong percepatan pengesahan RUU PPRT. Lewat pelaporan yang kami sampaikan kepada Presiden, kami juga terus memohon perkenan agar Presiden mengingatkan pimpinan DPR RI untuk segera membahas kembali DIM yang sudah disampaikan oleh pemerintah,” ujar Priyadi.
 
Baca Juga: RUU PPRT Belum Disahkan, Hukuman Pelaku Kekerasan PRT Dinilai Ringan

Menurut Priyadi, perjuangan panjang RUU PPRT harus terus diperjuangkan untuk bisa disahkan pada tahun ini. Sebab, perlindungan terhadap PRT, pemberi kerja, dan pihak-pihak lain yang terlibat menjadi krusial untuk dituangkan ke dalam sebuah UU yang menjadi dasar kehadiran negara dalam melindungi PRT dan hak-hak warganegara.
 
“RUU PPRT ini memberikan keseimbangan dan perlindungan yang menyeluruh. Hal ini dimaksudkan untuk ketiga pihak yaitu PRT, Pemberi Kerja, dan lembaga penempatan PRT atau LPPRT. Mekanisme hubugan kerja antara ketiga pihak tersebut diatur dalam bentuk kesepakatan dan perjanjian kerja yang tentunya akan menciptakan hubungan yang harmonis bagi semua pihak,” jelas dia.

Payung Hukum Perlindungan PRT

Sejalan dengan hal itu, Tia mengatakan dampak pengesahan RUU PPRT menjadi UU akan sangat bermanfaat sebagai payung hukum untuk memberikan perlindungan bagi PRT dan pemberi kerja dalam relasi hubungan kerja. Pelindungan ini, kata dia, memberikan jaminan kepastian hukum bagi PRT dan pemberi kerja dan sebagai upaya pencegahan kasus-kasus kekerasan terhadap PRT yang terus terjadi.
 
“Pemenuhan hak bagi PRT dan Pemberi Kerja memiliki payung hukum yang lebih jelas dan pasti sebagai wujud dari adanya jaminan kepastian hukum melalui undang-undang,” ujar Tia.
 
Berdasarkan data JALA PRT, pada 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT. Mayoritas kasus berupa kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja. Sejumlah PRT mengalami upah tidak dibayar, dipecat, atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja dan tidak ada kenaikan upah meski sudah kerja bertahun-tahun bahkan mudah untuk mengalami PHK. Ketika jatuh sakit, PRT harus membayar sendiri biaya perawatan karena tidak mendapat jaminan kesehatan.
 
Jika RUU PPRT semakin lama disahkan, hal ini akan menyebabkan semakin panjangnya daftar kekerasan yang dialami PRT sehingga situasi yang dialami PRT pun semakin memburuk. Lemahnya posisi PRT membuat mereka terus-menerus berada dalam lingkaran kekerasan. Kehadiran UU PPRT diharapkan menjadi pengakuan atas status ketenagakerjaan PRT.
 
Sementara itu, Komnas Perempuan menjelaskan berdasarkan kasus-kasus PRT yang terjadi, pihaknya seringkali menghadapi hambatan yang berkaitan pada proses penegakan hukum. Misalanya hanya menempatkan kasus PRT dalam pidana umum atau KDRT, tapi tidak melihat secara mendalam dalam relasi hubungan kerja yang tidak setara.
 
“Kekerasan terhadap Perempuan PRT terjadi karena kerentanan berlapis yang dihadapi oleh PRT dalam situasi relasi hubungan kerja yang tidak setara,” ujar Tia.
 
(Devi Harahap)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan