Jakarta: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga absolut di era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Lembaga tersebut melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya.
MPR masa itu menjalankan amanat Undang-Undang 1945 sebelum mengalami empat kali amendemen. Dalam masa kepemimpinan ini lembaga tersebut dijuluki penjelmaan rakyat dan membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam masa itu pula, MPR berwenang memilih presiden dan wakil presiden, termasuk memberhentikan keduanya. Kiprah majelis di Orde Baru juga bisa dibilang paling produktif, pada kurun waktu 20 Juni hingga 5 Juli 1955, ada enam Ketetapan MPR yang dibuat. Termasuk pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketetapan-ketetapan itu merupakan hasil dari Sidang Umum IV MPRS yang mengawali Orde Baru. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat atau tritura. Yakni membubarkan PKI dan membersihkan pemerintahan dari ideologi komunis.
Pasca sidang tersebut, MPRS berubah nama menjadi MPR. Model MPR Orde Baru tercatat paling lama bertahan, yakni sejak 1966 hingga 1988. Dalam kurun waktu itu, tercatat tujuh ketua MPR yang juga merangkap sebagai Ketua DPR:
Idham Chalid (1971)
Lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, Kalimantan Selatan, Idham menjabat Ketua MPR pada 1971. Dalam karirnya, Idham sempat bergabung dengan partai Nadhlatul Ulama (NU) pada 1952, di tahun yang sama pula Idham diangkat sebagai Ketua PB Ma'arif, organisi sayap NU yang bergerak di jalur pendidikan.
Dia merupakan tokoh sentral yang mempertahankan Kalimantan dan menolak ide atas negara federasi Negara Kalimantan bentukan Belanda. Adapun Idham sempat mencicipi jabatan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembanguan pada 1968-1973.
Adam Malik Batubara (1978)
Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara pada 22 Juli 1917, Adam Malik pernah menjabat Menteri Luar Negeri pada 1966-1978. Karier Adam Malik di dunia internasional terbilang moncer dan menjadi sorotan. Terutama ketika diangkat menjadi Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh mewakili Indonesia di Uni Soviet dan Polandia.
Di masa menjelang kemerdekaan, Adam Malik dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional. Dia pernah memimpin gerakan pemuda untuk mengawal kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, pahlawan nasional ini mendirikan Partai Rakyat, Partai Murba dan duduk di parlemen.
Adam Malik menjadi Ketua MPR pada 1978, namun tak berselang lama tugasnya digantikan Darjatmo. Adam diminta menjadi wakil presiden oleh Soeharto.
Darjatmo (1978)
Darjatmo menggantikan Adam Malik sebagai Ketua MPR di periode 1978 hingga 1982. Kariernya di dunia politik diawali saat memimpin MPR. Sebab sebelumnya, Darjatmo aktif di militer dan berpangkat jenderal. Sama seperti Soeharto, Darjatmo berasal dari KODAM Diponegoro Jawa Tengah.
Darjatmo pernah menjabat Asisten VI Menpangan dan Deputi Khusus Menpangad (1965-1968). Kala itu, Soeharto menjjadi orang nomor satu di Angkatan Darat.
Amirmachmud (1982)
Sama seperti Darjatmo, Amir merupakan jenderal yang diberi kesempatan memimpin MPR. Sebelum berkiprah mewakili rakyat, Amir terlebih dulu menjabat Menteri Dalam Negeri pada 1969.
Dia menjadi tokoh penting terkait Surat Perintah 11 Maret yang dikirimkan Sukarno ke Soeharto. Amir yang membawa surat tersebut dari Istana Bogor ke Soeharto. Amir pernah menjadi pembantu Soeharto di Kostrad sebagai Wakil Kepala Staf ketika Kostrad masih bernama Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad).
Kharis Suhud (1987)
Kharis menjabat Ketua MPR di periode 1987 hingga 1992. Sebelumnya, pada 1982 hingga 1987 ia memimpin Fraksi ABRI di DPR. Pada 1975 hingga 1978, Kharis pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Thailand.
Karier Kharis di militer diawali saat dirinya bergabung di Badan Keamanan Rakyat (BKR) pasca Proklamasi Kemerdekaan. Hingga kepemimpinan Soeharto, Kharis dianggap berjasa dalam kesatuan infantri Siliwangi.
Wahono (1992)
Mengawali karir di militer, Wahono memimpin MPR pada 1992. Dedikasi Wahono di militer dimulai saat mengemban jabatan di Pangkostrad pada 1969. kiprah terakhirnya di dunia tersebut yakni saat dirinya menjadi Deputi KSAD pada 1974.
Adapun Wahono pernah dipercaya Soeharto menjadi Dubes RI untuk Burma dan Nepal pada 1977, lalu menjadi Dirjen Bea Cukai pada 1981 dan memimpin Provinsi Jawa Timur pada 1983. Karirnya menjadi Gubernur Jatim berakhir pada 1988 dan Wahono 'naik tahta' memimpin MPR/DPR dari 1992 hingga 1997.
Harmoko (1997)
Merupakan Ketua MPR/DPR terakhir di masa Orde Baru. Harmoko yang mengangkat Soeharto sebagai presiden di periode ketujuh. Namun tak berselang lama, dua bulan selanjutnya Harmoko minta Soeharto turun karena desakan rakyat untuk reformasi.
Pendiri surat kabar Pos Kota ini pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di era Soeharto selama tiga periode. Dia mengawali karier sebagai wartawan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. (Syahrum Latupono)
Jakarta: Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) menjadi lembaga absolut di era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Lembaga tersebut melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya.
MPR masa itu menjalankan amanat Undang-Undang 1945 sebelum mengalami empat kali amendemen. Dalam masa kepemimpinan ini lembaga tersebut dijuluki penjelmaan rakyat dan membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Dalam masa itu pula, MPR berwenang memilih presiden dan wakil presiden, termasuk memberhentikan keduanya. Kiprah majelis di Orde Baru juga bisa dibilang paling produktif, pada kurun waktu 20 Juni hingga 5 Juli 1955, ada enam Ketetapan MPR yang dibuat. Termasuk pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketetapan-ketetapan itu merupakan hasil dari Sidang Umum IV MPRS yang mengawali Orde Baru. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat atau tritura. Yakni membubarkan PKI dan membersihkan pemerintahan dari ideologi komunis.
Pasca sidang tersebut, MPRS berubah nama menjadi MPR. Model MPR Orde Baru tercatat paling lama bertahan, yakni sejak 1966 hingga 1988. Dalam kurun waktu itu, tercatat tujuh ketua MPR yang juga merangkap sebagai Ketua DPR:
Idham Chalid (1971)
Lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, Kalimantan Selatan, Idham menjabat Ketua MPR pada 1971. Dalam karirnya, Idham sempat bergabung dengan partai Nadhlatul Ulama (NU) pada 1952, di tahun yang sama pula Idham diangkat sebagai Ketua PB Ma'arif, organisi sayap NU yang bergerak di jalur pendidikan.
Dia merupakan tokoh sentral yang mempertahankan Kalimantan dan menolak ide atas negara federasi Negara Kalimantan bentukan Belanda. Adapun Idham sempat mencicipi jabatan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Pembanguan pada 1968-1973.
Adam Malik Batubara (1978)
Lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara pada 22 Juli 1917, Adam Malik pernah menjabat Menteri Luar Negeri pada 1966-1978. Karier Adam Malik di dunia internasional terbilang moncer dan menjadi sorotan. Terutama ketika diangkat menjadi Duta Besar luar biasa dan berkuasa penuh mewakili Indonesia di Uni Soviet dan Polandia.
Di masa menjelang kemerdekaan, Adam Malik dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional. Dia pernah memimpin gerakan pemuda untuk mengawal kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, pahlawan nasional ini mendirikan Partai Rakyat, Partai Murba dan duduk di parlemen.
Adam Malik menjadi Ketua MPR pada 1978, namun tak berselang lama tugasnya digantikan Darjatmo. Adam diminta menjadi wakil presiden oleh Soeharto.
Darjatmo (1978)
Darjatmo menggantikan Adam Malik sebagai Ketua MPR di periode 1978 hingga 1982. Kariernya di dunia politik diawali saat memimpin MPR. Sebab sebelumnya, Darjatmo aktif di militer dan berpangkat jenderal. Sama seperti Soeharto, Darjatmo berasal dari KODAM Diponegoro Jawa Tengah.
Darjatmo pernah menjabat Asisten VI Menpangan dan Deputi Khusus Menpangad (1965-1968). Kala itu, Soeharto menjjadi orang nomor satu di Angkatan Darat.
Amirmachmud (1982)
Sama seperti Darjatmo, Amir merupakan jenderal yang diberi kesempatan memimpin MPR. Sebelum berkiprah mewakili rakyat, Amir terlebih dulu menjabat Menteri Dalam Negeri pada 1969.
Dia menjadi tokoh penting terkait Surat Perintah 11 Maret yang dikirimkan Sukarno ke Soeharto. Amir yang membawa surat tersebut dari Istana Bogor ke Soeharto. Amir pernah menjadi pembantu Soeharto di Kostrad sebagai Wakil Kepala Staf ketika Kostrad masih bernama Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad).
Kharis Suhud (1987)
Kharis menjabat Ketua MPR di periode 1987 hingga 1992. Sebelumnya, pada 1982 hingga 1987 ia memimpin Fraksi ABRI di DPR. Pada 1975 hingga 1978, Kharis pernah menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Thailand.
Karier Kharis di militer diawali saat dirinya bergabung di Badan Keamanan Rakyat (BKR) pasca Proklamasi Kemerdekaan. Hingga kepemimpinan Soeharto, Kharis dianggap berjasa dalam kesatuan infantri Siliwangi.
Wahono (1992)
Mengawali karir di militer, Wahono memimpin MPR pada 1992. Dedikasi Wahono di militer dimulai saat mengemban jabatan di Pangkostrad pada 1969. kiprah terakhirnya di dunia tersebut yakni saat dirinya menjadi Deputi KSAD pada 1974.
Adapun Wahono pernah dipercaya Soeharto menjadi Dubes RI untuk Burma dan Nepal pada 1977, lalu menjadi Dirjen Bea Cukai pada 1981 dan memimpin Provinsi Jawa Timur pada 1983. Karirnya menjadi Gubernur Jatim berakhir pada 1988 dan Wahono 'naik tahta' memimpin MPR/DPR dari 1992 hingga 1997.
Harmoko (1997)
Merupakan Ketua MPR/DPR terakhir di masa Orde Baru. Harmoko yang mengangkat Soeharto sebagai presiden di periode ketujuh. Namun tak berselang lama, dua bulan selanjutnya Harmoko minta Soeharto turun karena desakan rakyat untuk reformasi.
Pendiri surat kabar Pos Kota ini pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di era Soeharto selama tiga periode. Dia mengawali karier sebagai wartawan pernah menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.
(Syahrum Latupono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)