Ilustrasi - Medcom.id.
Ilustrasi - Medcom.id.

Mengenang Tiga Ketua MPRS Orde Lama

Medcom • 04 Oktober 2019 06:28
Jakarta: MPR merupakan salah satu lembaga tinggi negara. Lembaga ini sudah terbentuk sejak Orde Lama atau masa pemerintahan Presiden pertama Indonesia Soekarno berkuasa. 
 
Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dibentuk secara utuh. Kekuasaan pada masa itu masih dipimpin oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
 
Namun, sejak Maklumat Wakil Presiden Nomor X keluar, tugas dan wewenang KNIP berubah. Sejak saat itu, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

KNIP merupakan cikal bakal MPR. Saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), MPR belum dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Barulah pada 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.
 
Sayangnya, konstituante tidak dapat memenuhi harapan menetapkan UUD. Oleh karena itu, pada 22 April 1959, pemerintah menganjurkan kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan.
 
Atas situasi tersebut, Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, dan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
 
MPRS pada masa Orde Lama hanya bertahan sekitar lima tahun, namun, dalam lima tahun itu, tercatat ada tiga ketua MPRS. Berikut tiga tokoh Ketua MPRS pada masa Orde Lama.
 

Chaerul Saleh (1966) 


Chaerul Saleh merupakan Ketua MPRS pertama. Lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat, 13 September 1916, ia merupakan seorang pejuang dan tokoh politik Indonesia.
 
Ia turut terlibat di balik penculikan Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok. Ia mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Selain itu ia juga merupakan pengikut Tan Malaka.  
 
Chaerul tercatat pernah menjabat sebagai Menteri Negara urusan Veteran pada tahun 1957. Kemudian karirnya naik hingga Menjabat Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan periode 1960-1963.
 

Wilujo Puspojudo (1966)


Wilujo merupakan seorang kolonel Angkatan Darat. Pada saat menjabat Ketua MPRS, ia berstatus sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), yang di masa kabinet Dwikora setara Menteri.
 
Wilujo diangkat sebagai Ketua MPRS pascakeluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar mengenai pembersihan PKI dan simpatisannya. Wilujo juga pernah memimpin sidang pada Juni-Juli 1966 sebagai ketua pelaksana pimpinan harian di MPRS. 
        

Abdul Haris Nasution (1966-1971)


Jendral Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution menjabat Ketua MPRS di era peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tahun 1965, tragedi G30S meletus dan mengincar sejumlah jendral-jendral Angkatan Darat, Nasution salah satu sasarannya. 
 
Di bawah kepemimpinan Nasution, MPRS mengambil sejumlah langkah berani. Di antaranya, melarang paham Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968. 
 
Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dan memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru. Dalam sidang itu juga diputuskan, jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden. (Irfan Adi Darmawan)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DMR)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan