Ilustrasi. Foto: MI/Agus Utantoro.
Ilustrasi. Foto: MI/Agus Utantoro.

Penyuluh KB Berkurang Setiap Tahun

Achmad Zulfikar Fazli • 25 Februari 2019 20:33
Jakarta: Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Nofrijal menyebut, penyuluh Keluarga Berencana (KB) berkurang setiap tahunnya. Tahun ini, jumlah penyuluh KB hanya 15 ribu orang yang tersebar di sekitar 80 ribu desa dan kelurahan.
 
"Turun sebetulnya dibandingkan masa-masa yang lalu," kata Nofrijal di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin, 25 Februari 2019.
 
Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penyuluh KB mencapai 40 ribu orang. Penurunan itu dinilai terjadi akibat penyuluh memasuki masa pensiun.

BKKBN sudah mengajukan rekrutmen pegawai baru untuk penyuluh KB ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Namun, hingga kini belum terealisasi.
 
Menyiasati kekurangan itu, Nofrijal menyampaikan, BKKBN memanfaatkan relawan yang bukan dari pegawai BKKBN di daerah. Misalnya, penyuluh pertanian, penyuluh perikanan hingga bidan di desa.
 
"Ya kita jadikan petugas atau penyuluh kita di lapangan, ditambah juga ada Babinsa, Bapak-bapak TNI ini kan dalam situasi tertentu bisa melakukan kunjungan ke rumah-rumah," ujar dia.
 
(Baca juga: KB Dinilai Berdampak pada Lapangan Pekerjaan)
 
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai KB berdampak pada lapangan pekerjaan. 
 
Kalla menegaskan. KB dibutuhkan bukan lantaran takut kemiskinan meningkat. Tapi, ada kekhawatiran lapangan pekerjaan yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk tersebut.
 
"Bagaimana membagi kue kemakmuran apabila yang membaginya terlalu banyak," ucap JK  di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, 25 Februari 2019. 
  
Karena itu, kata JK, KB menjadi program nasional. Dia mengakui setiap daerah berbeda-beda hasilnya dalam menjalankan program tersebut. Ada daerah yang berhasil dan adapula yang gagal.
 
"Tapi yang paling penting bahwa terjadi suatu penurunan yang baik," kata dia.
 
Kendati menggemborkan program KB, JK tak ingin masyarakat merasa cukup dengan memiliki satu anak. Kebijakan itu sempat diterapkan di beberapa negara seperti Singapura dan China. Namun, negara tersebut kini menyesal dengan kebijakan itu.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan