Jakarta: Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai politik identitas atau SARA (Suku, Agama, Rasa dan Antargolongan) masih akan terjadi di Pilpres 2019. Langkah antisipasi pun mesti dioptimalkan, termasuk dengan menyempurnakan regulasi terkait penggunaan isu SARA.
Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menekankan perlunya penyamaan definisi politisasi SARA. Sebab, UU Pemilu belum tegas menerangkan definisi politisasi SARA. Pihaknya sedang berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memformulasikan definisi yang jelas dan tegas.
"Misalnya, ada yang mendeklarasikan saya akan mendukung calon yang sesuai dengan agama saya, apa itu termasuk SARA? Bawaslu dalam mengantisipasi dan menindak isu SARA di pilpres acuannya UU Pemilu, tapi definisi di UU itu tidak terlalu tegas,'' ujar dikutip dari Media Indonesia, Kamis, 26 Juli 2018.
''Unsur-unsurnya itu seperti apa, itu kan yang belum terurai secara jelas. Nah, ini yang harus kita diskusikan sehingga tidak akan ada kesalahan dalam penindakan," imbuhnya.
Regulasi penggunaan isu SARA diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain dan huruf. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.
Baca: Bawaslu Antisipasi Isu SARA Jelang Pemilu
Ratna menambahkan, Bawaslu juga mencegah dan mengawasi politisasi SARA melalui media sosial. Pihaknya pun telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
''Tujuannya untuk menangkal kampanye negatif, kampanye hitam, kampanye bohong pada pemilu, baik yang terjadi menjelang pilkada, pileg, maupun pilpres, di medsos.''
Di Poso, Sulawesi Tengah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa keberagaman merupakan keniscayaan sehingga mesti dijaga. Ia mengingatkan para politikus untuk tidak mengeksploitasi politik identitas demi ambisi politik.
''Masyarakat, khususnya politisi, harus menjaga kebersamaan itu sehingga tidak lagi terulang konflik. Perbedaan boleh terjadi, tetapi harus tetap menjaga kedamaian. Itulah harapan kita semua sebagai anak bangsa,'' kata Wapres seusai meresmikan Auditorium Pesantren Gontor di Poso, kemarin.
Jakarta: Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai politik identitas atau SARA (Suku, Agama, Rasa dan Antargolongan) masih akan terjadi di Pilpres 2019. Langkah antisipasi pun mesti dioptimalkan, termasuk dengan menyempurnakan regulasi terkait penggunaan isu SARA.
Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menekankan perlunya penyamaan definisi politisasi SARA. Sebab, UU Pemilu belum tegas menerangkan definisi politisasi SARA. Pihaknya sedang berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memformulasikan definisi yang jelas dan tegas.
"Misalnya, ada yang mendeklarasikan saya akan mendukung calon yang sesuai dengan agama saya, apa itu termasuk SARA? Bawaslu dalam mengantisipasi dan menindak isu SARA di pilpres acuannya UU Pemilu, tapi definisi di UU itu tidak terlalu tegas,'' ujar dikutip dari
Media Indonesia, Kamis, 26 Juli 2018.
''Unsur-unsurnya itu seperti apa, itu kan yang belum terurai secara jelas. Nah, ini yang harus kita diskusikan sehingga tidak akan ada kesalahan dalam penindakan," imbuhnya.
Regulasi penggunaan isu SARA diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain dan huruf. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.
Baca: Bawaslu Antisipasi Isu SARA Jelang Pemilu
Ratna menambahkan, Bawaslu juga mencegah dan mengawasi politisasi SARA melalui media sosial. Pihaknya pun telah menjalin kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
''Tujuannya untuk menangkal kampanye negatif, kampanye hitam, kampanye bohong pada pemilu, baik yang terjadi menjelang pilkada, pileg, maupun pilpres, di medsos.''
Di Poso, Sulawesi Tengah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa keberagaman merupakan keniscayaan sehingga mesti dijaga. Ia mengingatkan para politikus untuk tidak mengeksploitasi politik identitas demi ambisi politik.
''Masyarakat, khususnya politisi, harus menjaga kebersamaan itu sehingga tidak lagi terulang konflik. Perbedaan boleh terjadi, tetapi harus tetap menjaga kedamaian. Itulah harapan kita semua sebagai anak bangsa,'' kata Wapres seusai meresmikan Auditorium Pesantren Gontor di Poso, kemarin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)