medcom.id, Jakarta: Di tengah persoalan sosial dan politik yang masih terus terjadi, situasi demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi benteng dalam mengatasi setiap masalah yang muncul justru masih sebatas pentas keriuhan dan kegaduhan semata.
Direktur Suropati Syndicate Muhammad Sujahri mengatakan, perlu ada elemen-elemen atau eskponen gerakan kelembagaan untuk kembali menghidupkan cara-cara berdemokrasi yang produktif, menyenangkan, dan menyegarkan.
"Faktanya informasi yang muncul dan diterima oleh masyarakat lebih banyak yang cuma menimbulkan kericuhan. Kita butuh dialog yang sifatnya ilmiah ketimbang menjejali masyarakat dengan berita hoax," ujar Sujahri saat acara Launching Suropati Syndicate di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 11 Juni 2017.
Ia melihat kehadiran lembaga-lembaga independen yang bebas intervensi sangat penting untuk menjadikan dialog sebagai jalan utama. Contoh, SS terbentuk tanpa adanya unsur kepentingan dari pihak atau golongan manapun.
Wadah perkumpulan tersebut didedikasikan hanya demi kepentingan kemanusiaan, kemajuan peradaban, dan nilai-nilai keadilan. Harapannya masyarakat akan terbebas dari kepungan kebodohan akibat situasi demokrasi yang semakin tak karuan.
Baca: Demokrasi Harus Menghasilkan Nilai
Hadir pada kesempatan yang sama, mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Sudirman menjelaskan isi bukunya yang berjudul 'Berpihak pada Kewajaran'. Ia mengakui masih ada kegelisahan di era demokrasi saat ini.
"Belakangan ini makin banyak kejadian yang kalau coba disinkronkan dengan akal sehat menjadi kurang padan. Kita harus mengetuk hati para politikus kita agar berpihak pada kewajaran," ungkapnya.
Lebih detail, jelas Sudirman, ada tujuh dosa sosial yang patut menjadi perhatian. Yaitu hal-hal yang diperoleh dengan gampang tanpa bekerja, kesenangan yang tidak disertai kesadaran, banyak ilmu tapi tidak memiliki integritas atau karakter, perniagaan yang tidak disertai moral, ilmu tanpa dasar kemanusiaan, beragama tapi tidak saleh secara sosial.
"Yang terakhir dan ini yang paling bahaya dan merusak diri kita sendiri. Politic is politic," cetusnya.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/1bVYPj7N" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Di tengah persoalan sosial dan politik yang masih terus terjadi, situasi demokrasi yang digadang-gadang mampu menjadi benteng dalam mengatasi setiap masalah yang muncul justru masih sebatas pentas keriuhan dan kegaduhan semata.
Direktur Suropati Syndicate Muhammad Sujahri mengatakan, perlu ada elemen-elemen atau eskponen gerakan kelembagaan untuk kembali menghidupkan cara-cara berdemokrasi yang produktif, menyenangkan, dan menyegarkan.
"Faktanya informasi yang muncul dan diterima oleh masyarakat lebih banyak yang cuma menimbulkan kericuhan. Kita butuh dialog yang sifatnya ilmiah ketimbang menjejali masyarakat dengan berita hoax," ujar Sujahri saat acara Launching Suropati Syndicate di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 11 Juni 2017.
Ia melihat kehadiran lembaga-lembaga independen yang bebas intervensi sangat penting untuk menjadikan dialog sebagai jalan utama. Contoh, SS terbentuk tanpa adanya unsur kepentingan dari pihak atau golongan manapun.
Wadah perkumpulan tersebut didedikasikan hanya demi kepentingan kemanusiaan, kemajuan peradaban, dan nilai-nilai keadilan. Harapannya masyarakat akan terbebas dari kepungan kebodohan akibat situasi demokrasi yang semakin tak karuan.
Baca: Demokrasi Harus Menghasilkan Nilai
Hadir pada kesempatan yang sama, mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Sudirman menjelaskan isi bukunya yang berjudul 'Berpihak pada Kewajaran'. Ia mengakui masih ada kegelisahan di era demokrasi saat ini.
"Belakangan ini makin banyak kejadian yang kalau coba disinkronkan dengan akal sehat menjadi kurang padan. Kita harus mengetuk hati para politikus kita agar berpihak pada kewajaran," ungkapnya.
Lebih detail, jelas Sudirman, ada tujuh dosa sosial yang patut menjadi perhatian. Yaitu hal-hal yang diperoleh dengan gampang tanpa bekerja, kesenangan yang tidak disertai kesadaran, banyak ilmu tapi tidak memiliki integritas atau karakter, perniagaan yang tidak disertai moral, ilmu tanpa dasar kemanusiaan, beragama tapi tidak saleh secara sosial.
"Yang terakhir dan ini yang paling bahaya dan merusak diri kita sendiri. Politic is politic," cetusnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)