medcom.id, Jakarta: Saat ini mulai ada pihak antidemokrasi yang menggunakan politik kotor hingga memunculkan benturan sektarian atau politik identitas untuk mencapai tujuan. Elite politik memiliki tanggung jawab untuk memberangus cara-cara seperti itu demi demokrasi yang sehat.
"Jangan sampai malah berkontribusi menggunakan politik kotor dan tidak beretika dengan berbungkus pada kebebasan dan demokrasi," kata Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari kepada Media Indonesia, Senin 15 Mei 2017.
Taufik menyatakan partai politik berperan besar menentukan arah demokrasi bangsa. Arahnya menuju demokrasi yang murni yang terjaga nilai-nilai demokrasinya.
Atau, malah mengarah pada demokrasi yang rentan diperalat kepentingan jangka pendek hingga merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Era reformasi selepas Orde Baru telah membuka pintu bagi semua orang untuk bebas memiliki pilihan politik, mengeluarkan pikiran, dan pendapat. Meski begitu, kebebasan yang kebablasan memberi jalan bagi politik kotor untuk berkembang. Salah satu dampaknya, intoleransi menjadi marak.
Tugas partai politik meluruskan demokrasi pada rel yang benar. "Demokrasi harus menghasilkan nilai-nilai karakter bangsa yang berpikiran terbuka, yang bisa menerima perbedaan, yang menghargai satu sama lain dan menghormati HAM," cetus Taufik.
Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengakui era reformasi juga melahirkan dampak yang tidak diinginkan. Contohnya, masyarakat transaksional.
"Bila ini berlanjut, bisa-bisa terjadi demokrasi kriminal. Etika menjadi nomor dua, kalkulasi untung rugi jadi rumus perilaku," ujar Hendrawan saat dihubungi, kemarin.
Sementara itu, partai politik yang dalam hal ini bertanggung jawab dalam pendidikan politik masyarakat diakuinya justru menjadi gamang.
"Karena yang normatif ideologis sering bertabrakan dengan praktik senyatanya di lapangan yang praktis-pragmatis," imbuh Hendrawan.
Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut ketiadaan pedoman arah pembangunan yang berkesinambungan membuat kepala negara tidak selalu mampu mengatasi permasalahan bangsa, termasuk semakin berkembangnya isu sektarian.
"Kita tidak punya haluan untuk mengatasi masalah yang timbul," tutur Mu'ti ketika dihubungi, kemarin
Untuk itu, Indonesia memerlukan kembali haluan negara. Namun, menurut Mu'ti, itu bukan harus dicapai melalui pembentukan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara, melainkan dengan amendemen terbatas UUD 1945.
medcom.id, Jakarta: Saat ini mulai ada pihak antidemokrasi yang menggunakan politik kotor hingga memunculkan benturan sektarian atau politik identitas untuk mencapai tujuan. Elite politik memiliki tanggung jawab untuk memberangus cara-cara seperti itu demi demokrasi yang sehat.
"Jangan sampai malah berkontribusi menggunakan politik kotor dan tidak beretika dengan berbungkus pada kebebasan dan demokrasi," kata Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari kepada
Media Indonesia, Senin 15 Mei 2017.
Taufik menyatakan partai politik berperan besar menentukan arah demokrasi bangsa. Arahnya menuju demokrasi yang murni yang terjaga nilai-nilai demokrasinya.
Atau, malah mengarah pada demokrasi yang rentan diperalat kepentingan jangka pendek hingga merusak nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Era reformasi selepas Orde Baru telah membuka pintu bagi semua orang untuk bebas memiliki pilihan politik, mengeluarkan pikiran, dan pendapat. Meski begitu, kebebasan yang kebablasan memberi jalan bagi politik kotor untuk berkembang. Salah satu dampaknya, intoleransi menjadi marak.
Tugas partai politik meluruskan demokrasi pada rel yang benar. "Demokrasi harus menghasilkan nilai-nilai karakter bangsa yang berpikiran terbuka, yang bisa menerima perbedaan, yang menghargai satu sama lain dan menghormati HAM," cetus Taufik.
Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengakui era reformasi juga melahirkan dampak yang tidak diinginkan. Contohnya, masyarakat transaksional.
"Bila ini berlanjut, bisa-bisa terjadi demokrasi kriminal. Etika menjadi nomor dua, kalkulasi untung rugi jadi rumus perilaku," ujar Hendrawan saat dihubungi, kemarin.
Sementara itu, partai politik yang dalam hal ini bertanggung jawab dalam pendidikan politik masyarakat diakuinya justru menjadi gamang.
"Karena yang normatif ideologis sering bertabrakan dengan praktik senyatanya di lapangan yang praktis-pragmatis," imbuh Hendrawan.
Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyebut ketiadaan pedoman arah pembangunan yang berkesinambungan membuat kepala negara tidak selalu mampu mengatasi permasalahan bangsa, termasuk semakin berkembangnya isu sektarian.
"Kita tidak punya haluan untuk mengatasi masalah yang timbul," tutur Mu'ti ketika dihubungi, kemarin
Untuk itu, Indonesia memerlukan kembali haluan negara. Namun, menurut Mu'ti, itu bukan harus dicapai melalui pembentukan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara, melainkan dengan amendemen terbatas UUD 1945.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)