Jakarta: Pernyataan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana soal sistem pemilu dinilai membuat Mahkamah Konstitusi (MK) dipandang negatif. Sebab, Denny Indrayana menyebut MK akan meloloskan sistem pemilu proporsional tertutup.
Selain itu, Denny Indrayana juga menyebut komposisi sikap hakim. Dari sembilan hakim, enam menyatakan sepakat dengan putusan dan sisanya dissenting opinion atau tidak setuju dengan pendapat mayoritas hakim.
"Bagi Mahkamah Konstitusi, pemberitaan, opini, pernyataan, unggahan, dan/atau cuitan tersebut berpotensi dan bahkan telah menimbulkan pandangan negatif yang berdampak langsung pada kredibilitas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses persidangan dan putusan Mahkamah Konstitusi," tulis MK dalam siaran pers, Rabu, 14 Juni 2023.
MK menegaskan putusan akan dibacakan pada Kamis, 15 Juni 2024. Usai pembacaan putusan, MK akan menggelar konferensi pers secara kelembagaan.
"Sebagaimana telah diagendakan, sidang pleno pengucapan putusan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 akan diselenggarakan pada Kamis (15/6), pukul 09.30 WIB dirangkaikan dengan 5 putusan perkara lainnya. Usai sidang pengucapan putusan, Mahkamah Konstitusi akan menggelar konferensi pers menyampaikan sikap dan tanggapan resmi kelembagaan," tulis MK.
Dalam siaran pers ini, MK menegaskan alasan pemohon agar Undang-Undang Pemilu diuji. Para pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Hal tersebut karena dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
"Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik," terang MK.
Permohonan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono. Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional
terbuka pada pemilu.
MK menggelar sidang sebanyak 16 kali dan telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, Presiden, serta sejumlah Pihak Terkait. Di antaranya KPU, perorangan dan lembaga dan serta sejumlah partai politik.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Pernyataan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana soal sistem pemilu dinilai membuat
Mahkamah Konstitusi (MK) dipandang negatif. Sebab,
Denny Indrayana menyebut MK akan meloloskan sistem pemilu proporsional tertutup.
Selain itu, Denny Indrayana juga menyebut komposisi sikap hakim. Dari sembilan hakim, enam menyatakan sepakat dengan putusan dan sisanya
dissenting opinion atau tidak setuju dengan pendapat mayoritas hakim.
"Bagi Mahkamah Konstitusi, pemberitaan, opini, pernyataan, unggahan, dan/atau cuitan tersebut berpotensi dan bahkan telah menimbulkan pandangan negatif yang berdampak langsung pada kredibilitas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses persidangan dan putusan Mahkamah Konstitusi," tulis MK dalam siaran pers, Rabu, 14 Juni 2023.
MK menegaskan putusan akan dibacakan pada Kamis, 15 Juni 2024. Usai pembacaan putusan, MK akan menggelar konferensi pers secara kelembagaan.
"Sebagaimana telah diagendakan, sidang pleno pengucapan putusan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 akan diselenggarakan pada Kamis (15/6), pukul 09.30 WIB dirangkaikan dengan 5 putusan perkara lainnya. Usai sidang pengucapan putusan, Mahkamah Konstitusi akan menggelar konferensi pers menyampaikan sikap dan tanggapan resmi kelembagaan," tulis MK.
Dalam siaran pers ini, MK menegaskan alasan pemohon agar Undang-Undang Pemilu diuji. Para pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik.
Hal tersebut karena dalam hal penentuan caleg terpilih oleh KPU tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.
"Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut Para Pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik," terang
MK.
Permohonan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nano Marijono. Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional
terbuka pada pemilu.
MK menggelar sidang sebanyak 16 kali dan telah mendengar keterangan dari berbagai pihak mulai dari DPR, Presiden, serta sejumlah Pihak Terkait. Di antaranya KPU, perorangan dan lembaga dan serta sejumlah partai politik.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)