Jakarta: Hamas, gerakan perlawanan Palestina menghancurkan menara pengawas Israel dan komunikasi utama di sepanjang perbatasan Gaza pada 7 Oktober 2023. Akademisi menilai kekerasan dipilih karena Hamas sudah tidak percaya dengan opsi damai dengan Israel.
"Kalau kita membandingkan hasil survei yang dilakukan, kita akan menemukan bahwa saat ini di bulan September 2023 itu menjadi kondisi terburuk di mana publik Palestina itu sudah mulai tidak percaya dengan opsi-opsi di luar kekerasan," kata Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo dalam diskusi bertema Dampak Global Larang Hamas-Israel, Rabu, 18 Oktober 2023.
Broto mengatakan rekam jejak konflik kedua pihak menunjukkan tingkat kerusakan atau terparah yang paling tinggi dari semua konflik yang terjadi di Gaza sejak 2006. Dia menuturkan Israel meninggalkan Gaza pada 2004-2005. Kemudian, ada pemilihan umum (pemilu) dan Hamas menang di Palestina.
"Dari masyarakat internasional terutama barat tidak mau mengakui dan itu yang kemudian menimbulkan gejolak-gejolak panjang di Gaza," tutur dia.
Menurut Broto, pihak yang berkuasa di Israel saat ini adalah koalisi sayap kanan religius. Normalnya, kata dia, koalisi sayap kanan dan kalaupun religius itu religius yang tengah. Namun, yang saat ini berkuasa itu betul-betul koalisi sayap kanan dan religius garis keras.
Dia mengatakan hal ini lah yang menjadi masalah karena ada kebijakan dari orang-orang seperti Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu dan Menteri Keamanan Nasioal Israel Itamar Ben Gvir yang plurareligius. Broto mengatakan tidak ada dalam kamus mereka mempertimbangkan potensi damai dengan Palestina.
Terlebih, kata dia, kekuasaan Benyamin Netanyahu cenderung mendorong kebijakan pembangunan pemukiman Yahudi dan memicu konflik. Sebab, ada pengambil alihan lahan di tepi barat terutama di wilayah-wilayah yang seharusnya tidak boleh diotak-atik
"Kenapa?, karena itu menjadi bagian dari negosiasi. Tapi Netanyahu tidak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu. Nah, itu yang pertama kondisi di Israel," ucap Broto.
Kemudian, kondisi di Palestina saat ini berbeda dari yang sebelumnya. Dulu, kata Broto, masyarakat masih punya bayangan untuk menyelesaikan konflik secara damai atau negosiasi menggunakan organ-organ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organ multilateral lain. Namun, kini bayangan itu sirna.
Penyebabnya, kata Broto, karena masyarakat Palestina semakin sulit bergerak dibanding sebelum proses resolusi 1993. Masyarakat Palestina harus melewati pos check point dari satu wilayah ke wilayah lain.
"Check point itu bukan hal yang mudah untuk dilewati, sebetulnya ada pemeriksaan-periksaan dan itu nanti kan dampaknya macam-macam kalau orang mau kerja kemudian menjadi sulit dan seterusnya," kata Broto.
Broto memandang dari sejumlah permasalahan itu, Palestina sadar bahwa satu-satunya solusi yakni menggunakan kekuatan kekerasan melalui Hamas. Sehingga, mereka memutuskan untuk menggunakan instrumen tersebut.
"Karena itu instrumen yang mereka miliki dan kuasai dengan baik. Dari situ kita bisa melihat memang ada keterkaitannya antara menyelesaikan masalah dengan apa yang dilakukan Hamas ke Israel, yang meskipun penggunaan kekerasan itu tetap jadi masalah gitu ya. Tapi kita bisa melihat ada logika yang dilakukan, dikembangkan dalam keputusan tersebut," ucap akademisi dari Universitas Indonesia itu.
Jakarta: Hamas, gerakan perlawanan Palestina menghancurkan menara pengawas Israel dan komunikasi utama di sepanjang perbatasan Gaza pada 7 Oktober 2023. Akademisi menilai kekerasan dipilih karena Hamas sudah tidak percaya dengan opsi damai dengan
Israel.
"Kalau kita membandingkan hasil survei yang dilakukan, kita akan menemukan bahwa saat ini di bulan September 2023 itu menjadi kondisi terburuk di mana publik
Palestina itu sudah mulai tidak percaya dengan opsi-opsi di luar kekerasan," kata Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo dalam diskusi bertema Dampak Global Larang Hamas-Israel, Rabu, 18 Oktober 2023.
Broto mengatakan rekam jejak konflik kedua pihak menunjukkan tingkat kerusakan atau terparah yang paling tinggi dari semua konflik yang terjadi di Gaza sejak 2006. Dia menuturkan Israel meninggalkan Gaza pada 2004-2005. Kemudian, ada pemilihan umum (pemilu) dan Hamas menang di Palestina.
"Dari masyarakat internasional terutama barat tidak mau mengakui dan itu yang kemudian menimbulkan gejolak-gejolak panjang di Gaza," tutur dia.
Menurut Broto, pihak yang berkuasa di Israel saat ini adalah koalisi sayap kanan religius. Normalnya, kata dia, koalisi sayap kanan dan kalaupun religius itu religius yang tengah. Namun, yang saat ini berkuasa itu betul-betul koalisi sayap kanan dan religius garis keras.
Dia mengatakan hal ini lah yang menjadi masalah karena ada kebijakan dari orang-orang seperti Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu dan Menteri Keamanan Nasioal Israel Itamar Ben Gvir yang plurareligius. Broto mengatakan tidak ada dalam kamus mereka mempertimbangkan potensi damai dengan Palestina.
Terlebih, kata dia, kekuasaan Benyamin Netanyahu cenderung mendorong kebijakan pembangunan pemukiman Yahudi dan memicu konflik. Sebab, ada pengambil alihan lahan di tepi barat terutama di wilayah-wilayah yang seharusnya tidak boleh diotak-atik
"Kenapa?, karena itu menjadi bagian dari negosiasi. Tapi Netanyahu tidak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu. Nah, itu yang pertama kondisi di Israel," ucap Broto.
Kemudian, kondisi di Palestina saat ini berbeda dari yang sebelumnya. Dulu, kata Broto, masyarakat masih punya bayangan untuk menyelesaikan konflik secara damai atau negosiasi menggunakan organ-organ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organ multilateral lain. Namun, kini bayangan itu sirna.
Penyebabnya, kata Broto, karena masyarakat Palestina semakin sulit bergerak dibanding sebelum proses resolusi 1993. Masyarakat Palestina harus melewati pos
check point dari satu wilayah ke wilayah lain.
"
Check point itu bukan hal yang mudah untuk dilewati, sebetulnya ada pemeriksaan-periksaan dan itu nanti kan dampaknya macam-macam kalau orang mau kerja kemudian menjadi sulit dan seterusnya," kata Broto.
Broto memandang dari sejumlah permasalahan itu, Palestina sadar bahwa satu-satunya solusi yakni menggunakan kekuatan kekerasan melalui Hamas. Sehingga, mereka memutuskan untuk menggunakan instrumen tersebut.
"Karena itu instrumen yang mereka miliki dan kuasai dengan baik. Dari situ kita bisa melihat memang ada keterkaitannya antara menyelesaikan masalah dengan apa yang dilakukan Hamas ke Israel, yang meskipun penggunaan kekerasan itu tetap jadi masalah gitu ya. Tapi kita bisa melihat ada logika yang dilakukan, dikembangkan dalam keputusan tersebut," ucap akademisi dari Universitas Indonesia itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)