Jakarta: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana melakukan amandemen UUD 1945. Tujuannya, untuk menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai dasar pembangunan nasional jangka panjang.
Namun, rencana amandemen UUD itu menuai kontroversi. Terlebih, dilakukan di saat pandemi covid-19 serta munculnya isu penambahan periode jabatan presiden dan wakil presiden.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, amendemen adalah langkah konstitusional. Tapi dia mempertanyakan tujuan dasar amendemen tersebut.
“Ukurannya adalah apakah amendemen yang dilakukan akan memperkuat sistem politik kita atau tidak? Memperkuat demokrasi atau tidak. Apakah amendemen yang dilakukan akan memperkuat demokrasi presidensial kita atau tidak?” kata Saiful saat dihubungi, Kamis, 19 Agustus 2021.
Saiful menekankan, amendemen harus dilakukan dengan tujuan dan maksud yang jelas. Khususnya, memperkuat demokrasi presidensial.
“Kenapa demokrasi presidensial? Karena demokrasi parlementer sudah gagal. Demokrasi MPR-isme juga gagal dalam menciptakan stabilitas politik dan kemudian gagal dalam pembangunan,” kata dia.
Saiful pun membeberkan, pengalaman gagal demokrasi parlementer 1945-1959. Pengalaman gagal MPR-isme 1959-1966. Pengalaman MPRS-isme otoritarian Orde Baru. Pengalaman MPRS-isme demokratis 2001, Gus Dur jatuh.
“Dengan segala plus minusnya, demokrasi presidensial 2004-sekarang membuat politik cukup stabil, pembangunan lumayan berjalan,” ujar dia.
Saiful pun menolak keras rencana amendemen UUD 1945 dengan tujuan mengubah sistem demokrasi presidensial dengan alasan PPHN.
Saiful pun menjelaskan mengapa GBHN dapat memperlemah demokrasi presidensial. Termasuk memilih presiden oleh MPR memperlemah demokrasi presidensial.
Sebab, kata dia, hakekat demokrasi presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden diberi mandat langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin eksekutif, untuk membuat dan menjalankan program yang dijanjikan dalam kampanye, dengan masa berkuasa yang fixed.
“Presiden setara dengan DPR dan DPD karena sama-sama dipilih rakyat, ketiganya tidak boleh saling menjatuhkan,” tegas dia.
Baca: PKB Sebut Amendemen Terbatas UUD 1945 Bukan Prioritas
Dia menambahkan, kalau MPR membuat GBHN yang harus dipatuhi presiden, maka MPR di atas presiden dan itu menyalahi demokrasi. Karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden.
“Tidak boleh ada yang lebih berwenang menurut dasar demokrasi mereka,” tutur Saiful.
Kalau presiden dipilih MPR, kata dia, maka itu menyalahi prinsip demokrasi presidensial karena presiden bergantung pada MPR.
“GBHN dan pemilihan presiden oleh MPR itu mengubur demokrasi presidensialisme, kita yang dalam sejarah terbukti lebih baik dari parlementarisme maupun MPR-isme. Amendemen untuk menghidupkan GBHN dan peran MPR memilih presiden harus dilawan,” ujar Saiful.
Jakarta: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana melakukan
amandemen UUD 1945. Tujuannya, untuk menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai dasar pembangunan nasional jangka panjang.
Namun, rencana amandemen UUD itu menuai kontroversi. Terlebih, dilakukan di saat pandemi covid-19 serta munculnya isu penambahan periode jabatan presiden dan wakil presiden.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, amendemen adalah langkah konstitusional. Tapi dia mempertanyakan tujuan dasar amendemen tersebut.
“Ukurannya adalah apakah amendemen yang dilakukan akan memperkuat sistem politik kita atau tidak? Memperkuat demokrasi atau tidak. Apakah amendemen yang dilakukan akan memperkuat demokrasi presidensial kita atau tidak?” kata Saiful saat dihubungi, Kamis, 19 Agustus 2021.
Saiful menekankan, amendemen harus dilakukan dengan tujuan dan maksud yang jelas. Khususnya, memperkuat demokrasi presidensial.
“Kenapa demokrasi presidensial? Karena demokrasi parlementer sudah gagal. Demokrasi MPR-isme juga gagal dalam menciptakan stabilitas politik dan kemudian gagal dalam pembangunan,” kata dia.
Saiful pun membeberkan, pengalaman gagal demokrasi parlementer 1945-1959. Pengalaman gagal MPR-isme 1959-1966. Pengalaman MPRS-isme otoritarian Orde Baru. Pengalaman MPRS-isme demokratis 2001, Gus Dur jatuh.
“Dengan segala plus minusnya, demokrasi presidensial 2004-sekarang membuat politik cukup stabil, pembangunan lumayan berjalan,” ujar dia.
Saiful pun menolak keras rencana amendemen UUD 1945 dengan tujuan mengubah sistem demokrasi presidensial dengan alasan PPHN.
Saiful pun menjelaskan mengapa GBHN dapat memperlemah demokrasi presidensial. Termasuk memilih presiden oleh MPR memperlemah demokrasi presidensial.
Sebab, kata dia, hakekat demokrasi presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden diberi mandat langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin eksekutif, untuk membuat dan menjalankan program yang dijanjikan dalam kampanye, dengan masa berkuasa yang
fixed.
“Presiden setara dengan DPR dan DPD karena sama-sama dipilih rakyat, ketiganya tidak boleh saling menjatuhkan,” tegas dia.
Baca:
PKB Sebut Amendemen Terbatas UUD 1945 Bukan Prioritas
Dia menambahkan, kalau MPR membuat GBHN yang harus dipatuhi presiden, maka MPR di atas presiden dan itu menyalahi demokrasi. Karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden.
“Tidak boleh ada yang lebih berwenang menurut dasar demokrasi mereka,” tutur Saiful.
Kalau presiden dipilih MPR, kata dia, maka itu menyalahi prinsip demokrasi presidensial karena presiden bergantung pada MPR.
“GBHN dan pemilihan presiden oleh MPR itu mengubur demokrasi presidensialisme, kita yang dalam sejarah terbukti lebih baik dari parlementarisme maupun MPR-isme. Amendemen untuk menghidupkan GBHN dan peran MPR memilih presiden harus dilawan,” ujar Saiful.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ALB)