Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id

Pembahasan dan Pengesahan RUU PKS Semakin Mendesak

Antara • 06 Agustus 2020 19:10
Jakarta: Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) semakin mendesak untuk dibahas dan disahkan. Terutama sejak kasus fetish atau penyimpangan seksual kain jarik ramai diperbincangkan publik.
 
"Jadi begitu ada kasus fetish ini, kita bisa menerjemahkan kenapa hasrat seksual masuk dalam definisi kekerasan seksual,"kata Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), Diah Pitaloka dalam diskusi virtual bertema "Urgensi UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komprehensif" di Jakarta, Kamis, 6 Agustus 2020.
 
Menurut dia, hasrat seksual dalam pembahasan RUU PKS jadi polemik. Sebab hasrat itu dipertanyakan karena wujudnya yang tak tampak.

Baca: Negara Wajib Melindungi Warga dari Ancaman Kekerasan Seksual
 
Pihaknya mendorong RUU PKS dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Diah juga telah berdiskusi dengan banyak pakar terkait konstruksi sanksi hukum. 
 
Usulan dari pakar yakni karakteristik hukum pidana khusus. Diah menyebut RUU PKS tak perlu menunggu pembahasan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) rampung. 
 
"Itu menjawab pertanyaan apakah Undang-Undang PKS ini harus menunggu KUHP atau tidak. Ternyata undang-undang ini mengandung kekhususan hukum," kata dia.
 
Diah pun mengingatkan, salah satu substansi alasan pentingnya RUU ini adalah karena berdasarkan pengakuan korban, banyak kasus kekerasan seksual berbasis relasi pelaku dan korban yang tidak setara, sehingga ada dominasi, tekanan, dan manipulasi.
 
"Semoga RUU ini menjadi RUU yang diketengahkan sebagai bentuk political will, goodwill, keinginan baik yang diterjemahkan ke dalam ruang politik oleh fraksi-fraksi di DPR RI," katanya.
 
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar, menyampaikan bahwa lembaga itu kerap terhalang bila hendak melindungi korban kekerasan seksual yang mengadu karena ketiadaan dasar hukum.
 
"Ada berbagai kasus dimana korban melapor karena berada di bawah ancaman pelaku kekerasan seksual. Sejauh ini, yang bisa dilaksanakan adalah mencoba berkoordinasi dengan para psikolog untuk membantu para korban," tuturnya.
 
Pihaknya mencatat sejumlah poin yang harus menjadi perhatian dalam pembahasan RUU PKS. Pertama adalah soal pemenuhan hak prosedural, hak psikologis, dan restitusi.
 
Kedua, kasus di Bengkulu dimana keluarga korban justru dikucilkan oleh masyarakat. Ini berarti perlu mengatur kerangka sosio-ekologis dimana masyarakat tidak boleh menyalahkan korban sebagai pemicu kekerasan seksual.
 
Selanjutnya adalah kasus kekerasan seksual dalam hubungan inses dimana keberulangan sangat tinggi terjadi.
 
"Penegak hukum juga harus responsif korban. Maksudnya paham hak-hak saksi dan korban, sehingga nanti penanganan perkara menjadi suatu kebutuhan. Penuntut umum dan hakim itu paham tentang apa yang harus dilalui korban. Ini dipaksa ngomong berkali kali, saya membayangkan harus berapa kali si korban ini menyampaikan apa yang terjadi pada dia. Itu menyedihkan," jelasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan