Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat. Foto: Istimewa
Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat. Foto: Istimewa

Hari Ibu Momentum Meningkatkan Perjuangan Hak Perempuan

Cahya Mulyana • 22 Desember 2021 23:45
Jakarta: Perempuan disebut bukan sekadar pelengkap dan disubordinasikan serta tidak untuk dikooptasi. Peringatan Hari Ibu Nasional dianggap menjadi hari kebangkitan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya.
 
"Setiap perempuan memiliki hak yang sama sebagai manusia. Bahkan, gerakan perempuan Indonesia merupakan bagian dari upaya mewujudkan kemerdekaan Indonesia," kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, dalam diskusi virtual bertema 'Perempuan Indonesia: Kepemimpinan, Kesetaraan dan Kiprah Membangun Bangsa' yang merupakan bagian dari peluncuran buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh pada Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Sukma dan Universitas Syiah Kuala Aceh, Rabu, 22 Desember 2021).
 
Forum Diskusi Denpasar 12 diisi sejumlah tokoh. Mereka di antaranya penulis buku 21 Wanita Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh Qismullah Yusufl; pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Titi Surti Nastiti; akademisi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Asna Husin; dan akademisi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Ahmad Humam Hamid.

Menurut Lestari, peringatan Hari Ibu berbeda dengan Mother's Day yang dirayakan di dunia. Peringatan yang jatuh setiap 22 Desember lahir dari Kongres Perempuan Indonesia II pada 1930 yang membahas hak-hak perempuan di berbagai bidang.
 
Baca: Kisah Kristin, Kasih Sayang Ibu di Balik Jeruji Besi
 
Sejak zaman kerajaan, kata dia, sejatinya sudah banyak perempuan mengambil peran sebagai garda terdepan dalam perjuangan. Tokoh-tokoh perempuan di masa itu juga terlibat dalam pengelolaan negara, pertahanan, perdagangan, dan sejumlah bidang sosial kemasyarakatan.
 
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menyebutkan Reformasi menjadi masa yang kondusif bagi gerakan perempuan Indonesia. Pasalnya, cukup banyak ruang yang dibuka untuk mengangkat berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan.
 
Meski begitu, Lestari menilai masih banyak pekerjaan rumah terkait pemenuhan hak perempuan. Salah satunya, yakni pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang hingga kini masih menghadapi banyak tantangan.
 
"RUU TPKS sangat diharapkan untuk segera menjadi undang-undang agar perlindungan dan pencegahan dari tindak kekerasan seksual yang kerap mengancam perempuan bisa segera direalisasikan," urai Rerie, sapaan karib Lestari.
 
Connie Rahakundini Bakrie berpendapat jika kembali kepada nasionalisme di masa lalu, sudah terbukti banyak perempuan berperan aktif dalam skala yang lebih luas di berbagai bidang. Sejak abad ke-7, perempuan Aceh amat menonjol perannya di Nusantara. 
 
Dia menyebutkan kondisi itu tak lepas dari budaya matriarki yang dianut masyarakat Aceh. Sejarah Aceh juga melahirkan sejumlah negarawan perempuan. 
 
"Sikap digdayanya perempuan Aceh itu juga karena ajaran Islam yang kuat," ujar Connie.
 
Qismullah mengungkapkan perempuan Aceh berperan di sejumlah bidang, antara lain diplomasi, perdagangan, pendidikan, dan membangun jaringan di Nusantara. Pembangunan jaringan itu dibuktikan dengan adanya sembilan sultan di Aceh yang bukan orang asli Aceh, tetapi Bugis.
 
Titi Surti Nastiti berpendapat di Nusantara pada masa lalu, bukan hanya perempuan Aceh yang banyak berkiprah. Ada banyak perempuan yang menonjol di sejumlah daerah lainnya.
 
Namun, di masa kini masih banyak pihak yang menyubordinasikan perempuan terhadap laki-laki. Meski begitu, sejak dulu sampai sekarang di Nusantara selalu saja ada tempat bagi perempuan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan