Jakarta: PPIM UIN Jakarta merilis hasil penelitian terbaru mengenai tren beragama di media sosial. Temuan utama penelitian ini adalah adanya dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial, terutama Twitter.
Koordnator riset Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT) Iim Halimatusa’diyah menjelaskan dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan 67,2 persen. Kemudian, perbincangan tentang moderat 22,2 persen, liberal 6,1 persen, dan Islamis 4,5 persen.
Sejak 2009-2019, penggunaan tagar yang bersifat konservatif paling populer. Tagar yang bersifat netral bahkan kerap dikaitkan dengan paham keagamaan konservatif.
“Narasi konservatif yang banyak muncul di media sosial umumnya terkait isu perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, serta terkait amalan-amalan baik dan buruk,” ujar Iim dalam keterangan tertulisnya, Senin, 16 November 2020.
Iim menyebut pembahasan tematik di media sosial juga didominasi narasi konservatif. Dalam tema gender misalnya, paham konservatif banyak digunakan dalam membangun pandangan mengenai subordinasi perempuan. Narasi mengenai perempuan bahkan hanya berkutat pada ruang lingkup yang terbatas pada perannya sebagai anak, ibu, dan istri.
“Penelitian ini juga menunjukkan perempuan lebih rentan terhadap paparan fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, dominasi narasi konservatif di isu gender dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan bisa melahirkan transmisi konservatisme antar generasi,” ungkap dosen FISIP UIN Jakarta ini.
Politisasi Agama
Temuan lain dari penelitian ini adalah politisasi narasi keagamaan yang berdampak bagi peningkatan paham konservatisme di media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya keterkaitan isu agama dengan politik.
Konteks politik berperan penting dalam konstruksi narasi keagamaan di media sosial. Isu agama di Twitter banyak mengalami perubahan sesuai dinamika kondisi politik.
Hashtag keagamaan umum meningkat saat bukan tahun politik, kemudian menurun di tahun politik. Sedangkan hashtag politik banyak muncul di tahun politik, terutama sejak pemilu 2014. Hal ini menunjukkan kompetisi politik di Indonesia seringkali berkisar di isu agama. Narasi agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik sebagai sumber perebutan massa.
“Politisasi narasi agama tidak hanya dilakukan oleh partai Islam tapi juga oleh hampir semua partai politik, termasuk partai nasional. Terjadi fenomena diseminasi konflik kepentingan elite di ruang publik melalui persebaran narasi keagamaan di media sosial,” papar Iim.
Baca: 43% Masyarakat Mencari Tentang Keberadaan Tuhan di Internet
Secara geografis, penelitian ini menemukan fakta Pulau Jawa adalah arena kontestasi paham keagamaan, khususnya di Jakarta. Paham moderat mendominasi wacana di ruang maya dengan 67,11 persen. Kemudian paham konservatif 60,11 persen, Islamis 53,19 persen, dan liberal 44,64 persen.
Jika pandangan konservatif diasumsikan kompatibel dan selaras dengan islamis, gabungan keduanya mendominasi kontestasi paham keagamaan. Iim mencontohkan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama di Pilgub DKI yang menjadi faktor terbesar dalam kontestasi pemahaman agama di media sosial.
Narasi paham liberal juga banyak muncul di Jawa Timur dengan proporsi mencapai 22,62 persen. Kontribusi kelompok muda dan progresif di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) cukup berperan tinggi bagi proporsi liberalisme di Jawa Timur.
Sejalan dengan temuan riset lainnya, Jawa Barat menempati posisi sebagai provinsi yang memiliki proporsi narasi Islamis dan konservatif yang cukup tinggi dengan 15 persen dan 10 persen. Provinsi Aceh dan Sulawesi Selatan masuk 10 besar provinsi dengan proporsi konservatisme tertinggi.
DI Yogyakarta, Papua, dan Sumatra Utara yang bukan provinsi dengan mayoritas penduduk muslim dan bukan basis utama partai-partai Islam, justru memiliki proporsi paham konservatif dan islamis yang cukup tinggi. Hal ini makin memperjelas dominasi politisasi narasi keagamaan untuk kepentingan perolehan dukungan politik.
Paham Moderat Cenderung Diam
Temuan lain yang mengonfirmasi dominasi konservatisme agama di jagat maya adalah aktor sentral dalam konstruksi narasi keagamaan. Narasi keagamaan di media sosial dikuasai akun-akun yang cenderung berpaham islamis dan konservatif. Akun tersebut memiliki potensi viralitas tweet keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang moderat.
“Meskipun paham moderat memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan Islamis, namun sifat partisipasinya yang cenderung diam jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih aktif bersuara,” ungkap Iim.
Temuan ini menguatkan posisi kelompok islamis sebagai noisy minority, kelompok dengan jumlah sedikit namun gaungnya lebih besar di media sosial. Temuan lain yang berhasil diambil dari sentralitas aktor adalah tertutupnya jaringan sosial yang terbentuk antarklaster akun di twitter.
Penelitian yang dilakukam PPIM UIN Jakarta ini mengambil data dari dua platform media sosial, yaitu Twitter dan YouTube, dalam rentang waktu 2009-2019. Data yang ada dianalisis untuk melihat tren dan pola persebaran yang terjadi di media sosial secara kuantitatif. Penelitian ini juga melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data secara kualitatif.
Jakarta: PPIM UIN Jakarta merilis hasil penelitian terbaru mengenai tren beragama di
media sosial. Temuan utama penelitian ini adalah adanya dominasi narasi paham
keagamaan konservatif di media sosial, terutama Twitter.
Koordnator riset Media and Religious Trend in Indonesia (MERIT) Iim Halimatusa’diyah menjelaskan dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan 67,2 persen. Kemudian, perbincangan tentang moderat 22,2 persen, liberal 6,1 persen, dan Islamis 4,5 persen.
Sejak 2009-2019, penggunaan tagar yang bersifat konservatif paling populer. Tagar yang bersifat netral bahkan kerap dikaitkan dengan paham keagamaan konservatif.
“Narasi konservatif yang banyak muncul di media sosial umumnya terkait isu perempuan, hubungan negara, warga negara dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, serta terkait amalan-amalan baik dan buruk,” ujar Iim dalam keterangan tertulisnya, Senin, 16 November 2020.
Iim menyebut pembahasan tematik di media sosial juga didominasi narasi konservatif. Dalam tema gender misalnya, paham konservatif banyak digunakan dalam membangun pandangan mengenai subordinasi perempuan. Narasi mengenai perempuan bahkan hanya berkutat pada ruang lingkup yang terbatas pada perannya sebagai anak, ibu, dan istri.
“Penelitian ini juga menunjukkan perempuan lebih rentan terhadap paparan fanatisme paham keagamaan dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, dominasi narasi konservatif di isu gender dan tingginya proporsi narasi konservatif di kalangan perempuan bisa melahirkan transmisi konservatisme antar generasi,” ungkap dosen FISIP UIN Jakarta ini.
Politisasi Agama
Temuan lain dari penelitian ini adalah politisasi narasi keagamaan yang berdampak bagi peningkatan paham konservatisme di media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya keterkaitan isu agama dengan politik.
Konteks politik berperan penting dalam konstruksi narasi keagamaan di media sosial. Isu agama di Twitter banyak mengalami perubahan sesuai dinamika kondisi politik.
Hashtag keagamaan umum meningkat saat bukan tahun politik, kemudian menurun di tahun politik. Sedangkan hashtag politik banyak muncul di tahun politik, terutama sejak pemilu 2014. Hal ini menunjukkan kompetisi politik di Indonesia seringkali berkisar di isu agama. Narasi agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik sebagai sumber perebutan massa.
“Politisasi narasi agama tidak hanya dilakukan oleh partai Islam tapi juga oleh hampir semua partai politik, termasuk partai nasional. Terjadi fenomena diseminasi konflik kepentingan elite di ruang publik melalui persebaran narasi keagamaan di media sosial,” papar Iim.
Baca: 43% Masyarakat Mencari Tentang Keberadaan Tuhan di Internet
Secara geografis, penelitian ini menemukan fakta Pulau Jawa adalah arena kontestasi paham keagamaan, khususnya di Jakarta. Paham moderat mendominasi wacana di ruang maya dengan 67,11 persen. Kemudian paham konservatif 60,11 persen, Islamis 53,19 persen, dan liberal 44,64 persen.
Jika pandangan konservatif diasumsikan kompatibel dan selaras dengan islamis, gabungan keduanya mendominasi kontestasi paham keagamaan. Iim mencontohkan kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama di Pilgub DKI yang menjadi faktor terbesar dalam kontestasi pemahaman agama di media sosial.
Narasi paham liberal juga banyak muncul di Jawa Timur dengan proporsi mencapai 22,62 persen. Kontribusi kelompok muda dan progresif di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) cukup berperan tinggi bagi proporsi liberalisme di Jawa Timur.
Sejalan dengan temuan riset lainnya, Jawa Barat menempati posisi sebagai provinsi yang memiliki proporsi narasi Islamis dan konservatif yang cukup tinggi dengan 15 persen dan 10 persen. Provinsi Aceh dan Sulawesi Selatan masuk 10 besar provinsi dengan proporsi konservatisme tertinggi.
DI Yogyakarta, Papua, dan Sumatra Utara yang bukan provinsi dengan mayoritas penduduk muslim dan bukan basis utama partai-partai Islam, justru memiliki proporsi paham konservatif dan islamis yang cukup tinggi. Hal ini makin memperjelas dominasi politisasi narasi keagamaan untuk kepentingan perolehan dukungan politik.
Paham Moderat Cenderung Diam
Temuan lain yang mengonfirmasi dominasi konservatisme agama di jagat maya adalah aktor sentral dalam konstruksi narasi keagamaan. Narasi keagamaan di media sosial dikuasai akun-akun yang cenderung berpaham islamis dan konservatif. Akun tersebut memiliki potensi viralitas tweet keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang moderat.
“Meskipun paham moderat memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan Islamis, namun sifat partisipasinya yang cenderung diam jauh terkalahkan oleh gerakan islamis yang lebih aktif bersuara,” ungkap Iim.
Temuan ini menguatkan posisi kelompok islamis sebagai noisy minority, kelompok dengan jumlah sedikit namun gaungnya lebih besar di media sosial. Temuan lain yang berhasil diambil dari sentralitas aktor adalah tertutupnya jaringan sosial yang terbentuk antarklaster akun di twitter.
Penelitian yang dilakukam PPIM UIN Jakarta ini mengambil data dari dua platform media sosial, yaitu Twitter dan YouTube, dalam rentang waktu 2009-2019. Data yang ada dianalisis untuk melihat tren dan pola persebaran yang terjadi di media sosial secara kuantitatif. Penelitian ini juga melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa tokoh kunci untuk mendapatkan data secara kualitatif.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id(AZF)