Jakarta: Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kemungkinan besar akan ditunda hingga tahun depan. Sebab, belum ada sinyal kuat dari Komisi VIII DPR untuk membahas RUU tersebut.
"Iya ditunda. Karena kenyataanya begitu. Ini sudah sisa berapa hari lagi sebelum akhirnya paripurna terakhir. Jumat, Sabtu biasanya tidak ada lagi rapat. Jadi tak mungkin pembahasan hanya satu hari," kata anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka saat Bincang Kesehatan dan Perempuan Dalam RUU PKS dan RKUHP, di Jakarta, Kamis, 19 September 2019.
Kondisi tersebut dinilai kesalahan Komisi VIII yang belum membahas secara terbuka RUU tersebut. Sehingga sulit membahasnya secara komprehensif dan menemukan titik temu.
"Karena kami belum membahas pasal perpasal baru pembahasan judul itu pun menghasilkan tiga opsi. Ini yang saya lihat direm pembahasannya, jadi klarifikasi pembahasan isunya susah untuk cari titik temu. Dan pertemuan untuk sinkronisasi juga belum terjadi," terang dia.
Tak Pernah Dibahas
Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati mengatakan banyak anggota komisi yang tidak memahami dan peduli dengan kepentingan kesehatan, perlindungan perempuan, dan korban kekerasan. Sehingga, pembahasan RUU PKS masih mandek.
"Semua anggota punya pemahaman dan ideologi masing-masing. Karena pernah adanya penolakan berdasarkan draft yang belum pernah dibahas dan di pemahaman mereka itu adalah draft terakhir, karena kekeliruan hingga sampai kini masih banyak anggota yang tidak memahami proses hukum ini," ungkap Rahayu.
Kondisi tersebut terjadi sekian lama sehingga RUU PKS belum pernah dibahas secara tuntas dan komprehensif. Dukungan dari fraksi dan partai sangat menentukan perjuangan anggota komisi dalam mengesahkan aturan yang bertujuan melindungi korban kekerasan seksual tersebut.
"Ini yang masih menjadi perjuangan kami minimal itu dibahas supaya bisa dibuka pasal-pasal yang dinilai bermasalah atau kontroversial itu bisa dicari jalan tengahnya," imbuh dia.
Rahayu menjelaskan terdapat beberapa draft RUU PKS yang ditolak tanpa dibahas terlebih dahulu. "Ada beberapa yang draft yang keluar draf pertama ada draft pemerintah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draft pemerintah (DIM) yang baru lagi juga ada, dan ini belum dibahas jadi inilah masalahnya. Bagaimana kita mau menanggapi kalau semua masalah itu tidak dibahas," ketus dia.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan tak ada alasan bagi DPR untuk tidak mengesahkan RUU PKS. Pemerintah sudah mendorong dan memastikan aturan tersebut segera disahkan sebelum tahun ini berakhir.
"Dari pemerintah sudah kami dapatkan dari Pak Moeldoko sudah mengatakan bahwa pemerintah memastikan RUU PKS harus disahkan dalam periode ini. Dan sekarang kita mengingatkan komitmen komisi VIII. Padahal ini juga dari inisiatif DPR," ucap dia.
Dia menilai DPR menutup mata terhadap realitas kekerasan. Aroma kepentingan yang tidak dapat diakomodasi dari RUU ini dinilai menjadi bagian penting penyebab tidak kunjung disahkan.
"Mereka tidak boleh melukai hati para korban seksual dan jangan permainan RUU ini. Pro dan kontra itu wajar saja. Kelompok yang menolak ini pada tataran asumsi. Dan jika meleset maka kami mendesak masuk proleknas prioritas 2020," pungkas dia.
Jakarta: Pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kemungkinan besar akan ditunda hingga tahun depan. Sebab, belum ada sinyal kuat dari Komisi VIII DPR untuk membahas RUU tersebut.
"Iya ditunda. Karena kenyataanya begitu. Ini sudah sisa berapa hari lagi sebelum akhirnya paripurna terakhir. Jumat, Sabtu biasanya tidak ada lagi rapat. Jadi tak mungkin pembahasan hanya satu hari," kata anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka saat Bincang Kesehatan dan Perempuan Dalam RUU PKS dan RKUHP, di Jakarta, Kamis, 19 September 2019.
Kondisi tersebut dinilai kesalahan Komisi VIII yang belum membahas secara terbuka RUU tersebut. Sehingga sulit membahasnya secara komprehensif dan menemukan titik temu.
"Karena kami belum membahas pasal perpasal baru pembahasan judul itu pun menghasilkan tiga opsi. Ini yang saya lihat direm pembahasannya, jadi klarifikasi pembahasan isunya susah untuk cari titik temu. Dan pertemuan untuk sinkronisasi juga belum terjadi," terang dia.
Tak Pernah Dibahas
Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati mengatakan banyak anggota komisi yang tidak memahami dan peduli dengan kepentingan kesehatan, perlindungan perempuan, dan korban kekerasan. Sehingga, pembahasan
RUU PKS masih mandek.
"Semua anggota punya pemahaman dan ideologi masing-masing. Karena pernah adanya penolakan berdasarkan draft yang belum pernah dibahas dan di pemahaman mereka itu adalah draft terakhir, karena kekeliruan hingga sampai kini masih banyak anggota yang tidak memahami proses hukum ini," ungkap Rahayu.
Kondisi tersebut terjadi sekian lama sehingga RUU PKS belum pernah dibahas secara tuntas dan komprehensif. Dukungan dari fraksi dan partai sangat menentukan perjuangan anggota komisi dalam mengesahkan aturan yang bertujuan melindungi korban kekerasan seksual tersebut.
"Ini yang masih menjadi perjuangan kami minimal itu dibahas supaya bisa dibuka pasal-pasal yang dinilai bermasalah atau kontroversial itu bisa dicari jalan tengahnya," imbuh dia.
Rahayu menjelaskan terdapat beberapa draft RUU PKS yang ditolak tanpa dibahas terlebih dahulu. "Ada beberapa yang draft yang keluar draf pertama ada draft pemerintah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), dan draft pemerintah (DIM) yang baru lagi juga ada, dan ini belum dibahas jadi inilah masalahnya. Bagaimana kita mau menanggapi kalau semua masalah itu tidak dibahas," ketus dia.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu mengatakan tak ada alasan bagi DPR untuk tidak mengesahkan RUU PKS. Pemerintah sudah mendorong dan memastikan aturan tersebut segera disahkan sebelum tahun ini berakhir.
"Dari pemerintah sudah kami dapatkan dari Pak Moeldoko sudah mengatakan bahwa pemerintah memastikan RUU PKS harus disahkan dalam periode ini. Dan sekarang kita mengingatkan komitmen komisi VIII. Padahal ini juga dari inisiatif DPR," ucap dia.
Dia menilai DPR menutup mata terhadap realitas kekerasan. Aroma kepentingan yang tidak dapat diakomodasi dari RUU ini dinilai menjadi bagian penting penyebab tidak kunjung disahkan.
"Mereka tidak boleh melukai hati para korban seksual dan jangan permainan RUU ini. Pro dan kontra itu wajar saja. Kelompok yang menolak ini pada tataran asumsi. Dan jika meleset maka kami mendesak masuk proleknas prioritas 2020," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)