Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Yayasan Tifa: Pemilu 2024 Harus Jadi Ajang Merawat Keberagaman Masyarakat

Kautsar Widya Prabowo • 17 Desember 2022 13:22
Jakarta: Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 harus dijadikan sebagai ajang merawat keberagaman masyarakat serta mencegah polarisasi seperti Pemilu 2019. Polarisasi terjadi karena pengaruh informasi berita bohong atau hoaks yang sangat pesat di media sosial, serta politik identitas, pemanfaatan isu, sara, politik permusuhan, hate speech, black campaign, politik uang, dan politik intimidasi.
 
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, mengungkapkan Pemilu 2024 kemungkinan besar juga akan diisi berbagai praktik buruk yang mengancam memperdalam polarisasi. Berdasarkan pantauan Drone Emprit, sebuah sistem yang memonitor dan menganalisis media sosial berbasis big data, selama tiga bulan jelang akhir 2022, peta pola narasi Pemilu 2024 yang terbangun di media sosial tidak jauh berbeda dari Pemilu 2019.
 
Shita mengatakan isu polarisasi semakin menguat di antaranya karena ada pelemahan ragam ruang publik dan kebebasan bersuara, serta meningkatnya celah praktik oligarki. Merawat keberagaman sebagai aset perubahan, kata Shita, bisa meminimalisir terjadinya polarisasi.

“Tifa percaya kedewasaan demokrasi bisa kita raih dengan merawat keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan memandang keragaman sebagai aset perubahan," ujar Shita dalam acara Ulang Tahun ke-22 Yayasan Tifa di Jakarta, Jumat, 16 Desember 2022.
 
Menurut dia, pemilu perlu dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang adil, setara, dan menyenangkan. Perbedaan pandangan maupun pilihan pemimpin patut dilandasi rasa saling percaya, toleransi, dan menghargai.
 
"Tifa melihat pentingnya merawat keberagaman dalam Pemilu 2024 karena keberagaman adalah esensi Indonesia yang sudah mulai sulit dipertahankan,” kata Shita.
 

Baca Juga:Bawaslu Petakan Indeks Kerawanan Pemilu, DKI Jakarta Tertinggi


Shita mengungkapkan politik identitas bisa menjadi salah satu penyebab munculnya polarisasi. Sebab, banyak elite politik yang menggunakan politik identitas untuk mendapatkan dukungan politik.
 
“Strategi politik identitas baik agama, suku, ras atau antar golongan membuat muncul banyak pola intoleransi dan konflik horizontal semakin mengemuka. Minimnya jumlah capres-cawapres yang hanya dua pasang juga membuat masyarakat terbelah dua. Polarisasi bisa diminimalisir apabila ada lebih dari dua pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2024,” terang Shita.
 
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Tifa, Endy Bayuni, mengatakan demokrasi di Indonesia akan selalu menjadi sebuah work in progress. Menurut dia, Indonesia sudah jauh beranjak dari sebuah masyarakat yang tertekan, tidak demokratis, dan tidak ada keterbukaan.
 
”Proses reformasi yang kita jalankan menunjukkan bahwa semakin demokratis sebuah bangsa, semakin besar tantangan yang dihadapi, bukannya mengecil," kata Endy.
 
Melihat perkembangan politik dan sosial Indonesia saat ini, lanjut dia, sangat mudah bagi masyarakat untuk merasakan frustrasi dan kesal, apalagi di tengah banyaknya komentar mengenai democratic stagnation, regression, dan backsliding. Namun, sentimen ini jangan menjadikan masyarakay mundur atau menyerah terhadap keadaan.
 
"Sebaliknya, ini menjadi cambukan bagi kita semua yang bergerak di dunia civil society untuk semakin memperkuat usaha, dan perjuangan membangun masyarakat yang terbuka dan demokratis berkhidmat pada pluralisme, kesetaraan, dan keadilan,”ujar Endy.
 
Pada perayaan HUT ke-22, Tifa menghadirkan panggung terbuka, 'Merawat Keragaman, Sambut Pemilu yang Bermakna'. Panggung ini dimaksudkan untuk menjadi ruang kolaborasi dari mitra, lembaga, serta pegiat seni untuk ambil bagian dalam menyuarakan upaya menuju Pemilu 2024 yang bermakna, yakni pemilu yang berkhidmat pada kebinekaan dan keadilan yang dilandasi keragaman Indonesia. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan