Jakarta: Fenomena penggadaian Surat Keputusan (SK) oleh anggota DPRD semakin marak terjadi di berbagai daerah usai pelantikan anggota DPRD 2024. Praktik ini menjadi sorotan publik karena dianggap dapat memicu perilaku koruptif di kalangan wakil rakyat, meskipun secara hukum tidak melanggar aturan.
pol
Berdasarkan laporan di berbagai wilayah, anggota DPRD di Serang, Pasuruan, Malang, dan Bangkalan menjadi bagian dari tren ini. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa puluhan anggota DPRD di daerah-daerah tersebut telah menggadaikan SK mereka untuk memperoleh pinjaman ke bank.
Statistik Anggota DPRD yang Gadai SK
Di Kota Serang, Banten, Sekretaris DPRD Kota Serang, Ahmad Nuri, mengungkapkan bahwa ada sekitar 10 anggota DPRD yang telah menggadaikan SK mereka ke bank. Pinjaman yang diajukan anggota DPRD di Serang berkisar antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar.
Sementara itu, di Kota Pasuruan, berdasarkan pernyataan Ketua Sementara DPRD Pasuruan, Abdul Karim, setidaknya 4 anggota DPRD langsung menggadaikan SK mereka ke bank hanya beberapa hari setelah dilantik. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring waktu, mengingat mahalnya biaya kampanye yang dikeluarkan para legislator.
Baca juga: Biaya Politik Tinggi di Pilkada 2024, PDIP: Menyedihkan Sistem Demokrasi Kita
Di Kota Malang, fenomena ini bahkan lebih mencolok. Sekretaris Dewan DPRD Kota Malang, Zulkifli Amrizal, mengungkapkan bahwa dari 45 anggota DPRD yang dilantik, 17 orang di antaranya telah menggadaikan SK mereka.
Mereka mengajukan pinjaman untuk menutupi berbagai kebutuhan, baik itu akibat kehabisan dana kampanye maupun memenuhi gaya hidup yang lebih tinggi.
Di Kabupaten Bangkalan, data dari Bank Jatim Cabang Bangkalan mencatat bahwa sekitar 20 anggota DPRD telah mengajukan pinjaman dengan jaminan SK pengangkatan. Pinjaman ini kemudian dibayar dengan cara pemotongan gaji bulanan langsung dari Bank Jatim.
Biaya Kampanye
Menurut berbagai pengamat politik, salah satu faktor utama yang mendorong para anggota DPRD untuk menggadaikan SK adalah tingginya ongkos politik yang mereka keluarkan selama pemilu.
Di antaranya Pengamat politik Adi Prayitno. Ia menyoroti bahwa mahalnya ongkos politik menjadi penyebab utama maraknya tindakan ini. Menurutnya, langkah tersebut diambil sebagai upaya untuk memulihkan kondisi ekonomi setelah pemilu yang menguras banyak biaya.
Adi menekankan pentingnya mencari solusi bersama untuk mengurangi biaya politik yang tinggi, agar para anggota dewan tidak terbebani secara finansial setelah dilantik.
"Lagu lama yang sering kita saksikan pasca-pelantikan anggota DPRD, terutama DPRD Kabupaten/Kota, karena ada dua faktor. Pertama, ini sangat terkait dengan mahalnya ongkos politik sepanjang pileg," kata Adi dalam tayangan Metro Pagi Primetime, Metro TV, Senin, 9 September 2024.
Fenomena gadai SK anggota DPRD ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sistem politik di Indonesia, khususnya terkait dengan tingginya biaya politik dalam pemilu.
Selain itu, tekanan sosial dan perubahan gaya hidup pasca-pelantikan turut memperparah kondisi ini. Meskipun praktik gadai SK tidak melanggar hukum, risiko penyalahgunaan kekuasaan untuk menutupi kebutuhan finansial tetap menjadi perhatian utama.
Reformasi terkait biaya kampanye dan tata kelola keuangan partai politik mungkin menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah fenomena ini semakin meluas.
Desakan Pembiayaan Politik
Pembiayaan politik oleh negara menjadi semakin penting untuk menjaga integritas demokrasi dan mencegah praktik-praktik seperti mahar politik yang dapat merusak proses pemilu. Dengan mengambil alih pembiayaan politik, negara dapat memastikan bahwa kandidat dipilih berdasarkan gagasan dan kemampuan mereka, bukan kekuatan finansial.
Langkah ini juga dapat mengurangi ketergantungan kandidat pada dana pribadi atau dukungan dari pihak-pihak berkepentingan, yang sering kali menimbulkan konflik kepentingan dan memengaruhi kebijakan publik. Beberapa tokoh menggaungkan agar negara segera mengambil alih pembiayaan politik.
Di antaranya Fahri Hamzah saat menjabat Wakil Ketua DPR. Ia telah lama mendesak pemerintah untuk mengambil alih pembiayaan politik, terutama dalam penyelenggaraan Pilkada, guna mencegah praktik mahar politik yang merusak esensi demokrasi.
Setidaknya sejak 2018, Fahri konsisten mengingatkan bahwa pembiayaan politik yang tidak sehat, di mana kandidat terpaksa menggunakan dana pribadi atau dukungan dari pihak berkepentingan, dapat mengganggu integritas proses pemilu.
Dalam sebuah pernyataan yang diungkapkan di Gedung DPR, Jakarta pada 15 Januari 2018, Fahri meminta Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengeluarkan regulasi yang lebih komprehensif mengenai pembiayaan kampanye dan partai politik.
Menurutnya, tanpa regulasi yang jelas dan dukungan pembiayaan dari negara, politik uang akan terus mendominasi, dan kandidat yang maju lebih didasarkan pada kemampuan finansial daripada kapasitas dan gagasan yang mereka tawarkan.
"Regulasi pembiayaan kampanye dan parpol harus dibuat lebih sehat, agar uang pribadi tidak mendominasi aliran dana dalam proses politik Pilkada," tegas Fahri.
Meskipun pembiayaan politik oleh pemerintah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Fahri menilai bahwa implementasi dan pengawasan masih belum memadai.
Biaya tinggi dalam Pilkada dan Pemilu sering kali dibebankan kepada kandidat, yang kemudian harus mencari sumber dana pribadi atau bahkan dari cukong.
"Jika kandidat dibiayai oleh pihak lain, mereka akan merasa berhutang budi, dan ini bisa mempengaruhi kebijakan mereka selama menjabat," jelas Fahri.
Ia juga menyoroti bahwa kondisi ini menempatkan kandidat dengan modal finansial besar di posisi yang lebih unggul, sementara kandidat dengan gagasan brilian namun tanpa dukungan dana besar sering kali tersingkir.
"Sekarang hampir semua calon yang maju adalah mereka yang punya uang banyak. Sangat sedikit yang maju karena memiliki gagasan dan hati untuk memimpin," tambah Fahri.
Jakarta: Fenomena penggadaian
Surat Keputusan (SK) oleh anggota DPRD semakin marak terjadi di berbagai daerah usai pelantikan anggota DPRD 2024. Praktik ini menjadi sorotan publik karena dianggap dapat memicu perilaku koruptif di kalangan wakil rakyat, meskipun secara hukum tidak melanggar aturan.
pol
Berdasarkan laporan di berbagai wilayah, anggota DPRD di Serang, Pasuruan, Malang, dan Bangkalan menjadi bagian dari tren ini. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa puluhan anggota DPRD di daerah-daerah tersebut telah menggadaikan SK mereka untuk memperoleh pinjaman ke bank.
Statistik Anggota DPRD yang Gadai SK
Di Kota Serang, Banten,
Sekretaris DPRD Kota Serang, Ahmad Nuri, mengungkapkan bahwa ada sekitar 10 anggota DPRD yang telah menggadaikan SK mereka ke bank. Pinjaman yang diajukan anggota DPRD di Serang berkisar antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar.
Sementara itu, di Kota Pasuruan, berdasarkan pernyataan Ketua Sementara DPRD Pasuruan, Abdul Karim, setidaknya 4 anggota DPRD langsung menggadaikan SK mereka ke bank hanya beberapa hari setelah dilantik. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring waktu, mengingat mahalnya biaya kampanye yang dikeluarkan para legislator.
Baca juga:
Biaya Politik Tinggi di Pilkada 2024, PDIP: Menyedihkan Sistem Demokrasi Kita
Di Kota Malang, fenomena ini bahkan lebih mencolok. Sekretaris Dewan DPRD Kota Malang, Zulkifli Amrizal, mengungkapkan bahwa dari 45 anggota DPRD yang dilantik, 17 orang di antaranya telah menggadaikan SK mereka.
Mereka mengajukan pinjaman untuk menutupi berbagai kebutuhan, baik itu akibat kehabisan dana kampanye maupun memenuhi gaya hidup yang lebih tinggi.
Di Kabupaten Bangkalan, data dari Bank Jatim Cabang Bangkalan mencatat bahwa sekitar 20 anggota DPRD telah mengajukan pinjaman dengan jaminan SK pengangkatan. Pinjaman ini kemudian dibayar dengan cara pemotongan gaji bulanan langsung dari Bank Jatim.
Biaya Kampanye
Menurut berbagai pengamat politik, salah satu faktor utama yang mendorong para anggota DPRD untuk menggadaikan SK adalah tingginya ongkos politik yang mereka keluarkan selama pemilu.
Di antaranya Pengamat politik Adi Prayitno. Ia menyoroti bahwa mahalnya ongkos politik menjadi penyebab utama maraknya tindakan ini. Menurutnya, langkah tersebut diambil sebagai upaya untuk memulihkan kondisi ekonomi setelah pemilu yang menguras banyak biaya.
Adi menekankan pentingnya mencari solusi bersama untuk mengurangi biaya politik yang tinggi, agar para anggota dewan tidak terbebani secara finansial setelah dilantik.
"Lagu lama yang sering kita saksikan pasca-pelantikan anggota DPRD, terutama DPRD Kabupaten/Kota, karena ada dua faktor. Pertama, ini sangat terkait dengan mahalnya ongkos politik sepanjang pileg," kata Adi dalam tayangan Metro Pagi Primetime, Metro TV, Senin, 9 September 2024.
Fenomena gadai SK anggota DPRD ini mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh sistem politik di Indonesia, khususnya terkait dengan tingginya biaya politik dalam pemilu.
Selain itu, tekanan sosial dan perubahan gaya hidup pasca-pelantikan turut memperparah kondisi ini. Meskipun praktik gadai SK tidak melanggar hukum, risiko penyalahgunaan kekuasaan untuk menutupi kebutuhan finansial tetap menjadi perhatian utama.
Reformasi terkait biaya kampanye dan tata kelola keuangan partai politik mungkin menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan untuk mencegah fenomena ini semakin meluas.
Desakan Pembiayaan Politik
Pembiayaan politik oleh negara menjadi semakin penting untuk menjaga integritas demokrasi dan mencegah praktik-praktik seperti mahar politik yang dapat merusak proses pemilu. Dengan mengambil alih pembiayaan politik, negara dapat memastikan bahwa kandidat dipilih berdasarkan gagasan dan kemampuan mereka, bukan kekuatan finansial.
Langkah ini juga dapat mengurangi ketergantungan kandidat pada dana pribadi atau dukungan dari pihak-pihak berkepentingan, yang sering kali menimbulkan konflik kepentingan dan memengaruhi kebijakan publik. Beberapa tokoh menggaungkan agar negara segera mengambil alih pembiayaan politik.
Di antaranya Fahri Hamzah saat menjabat Wakil Ketua DPR. Ia telah lama mendesak pemerintah untuk mengambil alih pembiayaan politik, terutama dalam penyelenggaraan Pilkada, guna mencegah praktik mahar politik yang merusak esensi demokrasi.
Setidaknya sejak 2018, Fahri konsisten mengingatkan bahwa pembiayaan politik yang tidak sehat, di mana kandidat terpaksa menggunakan dana pribadi atau dukungan dari pihak berkepentingan, dapat mengganggu integritas proses pemilu.
Dalam sebuah pernyataan yang diungkapkan di Gedung DPR, Jakarta pada 15 Januari 2018, Fahri meminta Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengeluarkan regulasi yang lebih komprehensif mengenai pembiayaan kampanye dan partai politik.
Menurutnya, tanpa regulasi yang jelas dan dukungan pembiayaan dari negara, politik uang akan terus mendominasi, dan kandidat yang maju lebih didasarkan pada kemampuan finansial daripada kapasitas dan gagasan yang mereka tawarkan.
"Regulasi pembiayaan kampanye dan parpol harus dibuat lebih sehat, agar uang pribadi tidak mendominasi aliran dana dalam proses politik Pilkada," tegas Fahri.
Meskipun pembiayaan politik oleh pemerintah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Fahri menilai bahwa implementasi dan pengawasan masih belum memadai.
Biaya tinggi dalam Pilkada dan Pemilu sering kali dibebankan kepada kandidat, yang kemudian harus mencari sumber dana pribadi atau bahkan dari cukong.
"Jika kandidat dibiayai oleh pihak lain, mereka akan merasa berhutang budi, dan ini bisa mempengaruhi kebijakan mereka selama menjabat," jelas Fahri.
Ia juga menyoroti bahwa kondisi ini menempatkan kandidat dengan modal finansial besar di posisi yang lebih unggul, sementara kandidat dengan gagasan brilian namun tanpa dukungan dana besar sering kali tersingkir.
"Sekarang hampir semua calon yang maju adalah mereka yang punya uang banyak. Sangat sedikit yang maju karena memiliki gagasan dan hati untuk memimpin," tambah Fahri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)