Jakarta: Ketua DPP Partai NasDem Bidang Perempuan dan Anak, Amelia Anggraini, memastikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak membawa paham dan kepentingan liberal. Dia menepis dugaan bahwa pengesahan beleid ini hanya untuk melegalkan dominasi kaum perempuan dan campur tangan negara pada wilayah domestik atau privat.
"RUU ini dihadirkan semata-mata untuk melindungi hak-hak warga negara. Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Termasuk kekerasan fisik dan emosional," kata Amelia, Rabu, 15 Juli 2020.
Justru, kata dia, RUU PKS ini lebih berbasis pada perspektif perlindungan korban. Peraturan yang ada sekarang dinilai belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban.
"Korban kekerasan seksual juga masih sulit mengakses layanan perlindungan," katanya.
Dengan disahkannya RUU PKS, ia yakin korban dan keluarganya bisa mendapatkan perlindungan lebih maksimal. Negara pun harus lebih bertanggung jawab terhadap korban.
Baca: Perwakilan NasDem Diminta Melobi Fraksi Lain Bahas RUU PKS
Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan) mencatat jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga di ranah personal (KDRT/RP), yakni 75 persen atau 11.105 kasus. Tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik pun tercatat signifikan, yakni 24 persen atau 3.602 kasus. Bahkan, tercatat juga kekerasan terhadap perempuan di ranah negara dengan persentasei 0,1 persen atau 12 kasus.
Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik dengan 4.783 kasus (43 persen). Disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25 persen), psikis 2.056 (19 persen), dan ekonomi 1.459 kasus (13 kasus).
Di ranah publik dan komunitas, kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.602 kasus. Sebanyak 58 persen kekerasan adalah pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), dan pelecehan seksual (520 kasus). Selanjutnya, persetubuhan sebanyak 176 kasus dan sisanya percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) juga mencatat kecenderungan sama. Pada 2017 tercatat 2.737 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sebagian besar kasus, yakni 52 persennya, adalah kejahatan seksual.
Sodomi menjadi kasus yang paling tinggi, yakni sebanyak 771 kasus (54 persen), kemudian pencabulan 511 kasus (36 persen), perkosaan 122 kasus (9 persen), dan incest 20 kasus (1 persen).
Pada 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Tahun 2019, tercatat sebanyak 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak.
Dari 123 korban ini terdapat 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Data terbaru (Juli 2020), terjadi pencabulan terhadap 30 anak laki-laki di Sukabumi, Jawa Barat.
"Ini mempertegas bahwa kasus kekerasan seksual itu tidak memandang jenis kelamin," kata Amelia.
Atas dasar data-data tersebut NasDem berharap DPR segera memasukkan lagi RUU PKS ke dalam prolegnas.
Jakarta: Ketua DPP Partai NasDem Bidang Perempuan dan Anak, Amelia Anggraini, memastikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak membawa paham dan kepentingan liberal. Dia menepis dugaan bahwa pengesahan beleid ini hanya untuk melegalkan dominasi kaum perempuan dan campur tangan negara pada wilayah domestik atau privat.
"RUU ini dihadirkan semata-mata untuk melindungi hak-hak warga negara. Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Termasuk kekerasan fisik dan emosional," kata Amelia, Rabu, 15 Juli 2020.
Justru, kata dia, RUU PKS ini lebih berbasis pada perspektif perlindungan korban. Peraturan yang ada sekarang dinilai belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban.
"Korban kekerasan seksual juga masih sulit mengakses layanan perlindungan," katanya.
Dengan disahkannya RUU PKS, ia yakin korban dan keluarganya bisa mendapatkan perlindungan lebih maksimal. Negara pun harus lebih bertanggung jawab terhadap korban.
Baca:
Perwakilan NasDem Diminta Melobi Fraksi Lain Bahas RUU PKS
Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan) mencatat jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga di ranah personal (KDRT/RP), yakni 75 persen atau 11.105 kasus. Tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas atau publik pun tercatat signifikan, yakni 24 persen atau 3.602 kasus. Bahkan, tercatat juga kekerasan terhadap perempuan di ranah negara dengan persentasei 0,1 persen atau 12 kasus.
Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik dengan 4.783 kasus (43 persen). Disusul kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus (25 persen), psikis 2.056 (19 persen), dan ekonomi 1.459 kasus (13 kasus).
Di ranah publik dan komunitas, kekerasan terhadap perempuan tercatat 3.602 kasus. Sebanyak 58 persen kekerasan adalah pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), dan pelecehan seksual (520 kasus). Selanjutnya, persetubuhan sebanyak 176 kasus dan sisanya percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) juga mencatat kecenderungan sama. Pada 2017 tercatat 2.737 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sebagian besar kasus, yakni 52 persennya, adalah kejahatan seksual.
Sodomi menjadi kasus yang paling tinggi, yakni sebanyak 771 kasus (54 persen), kemudian pencabulan 511 kasus (36 persen), perkosaan 122 kasus (9 persen), dan incest 20 kasus (1 persen).
Pada 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Tahun 2019, tercatat sebanyak 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak.
Dari 123 korban ini terdapat 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Data terbaru (Juli 2020), terjadi pencabulan terhadap 30 anak laki-laki di Sukabumi, Jawa Barat.
"Ini mempertegas bahwa kasus kekerasan seksual itu tidak memandang jenis kelamin," kata Amelia.
Atas dasar data-data tersebut NasDem berharap DPR segera memasukkan lagi RUU PKS ke dalam prolegnas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)