Jakarta: Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) menyebut negara merugi ratusan triliuan akibat keterlambatan perubahan dari siaran televisi analog ke TV digital. Pasalnya, ada digital deviden atau bonus digital dari migrasi penyiaran Rp10 triliun per tahunnya.
Wakil Ketua Dewan Pembina ATSDI Bambang Harymurti mengatakan migrasi sistem penyiaran terkendala Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Sudah 13 tahun RUU Penyiaran ini tidak menemui titik terang.
"Uang triliunan yang seharusnya bisa digunakan masyarakat tertunda terus," kata Bambang dalam diskusi virtual Crosschek Medcom.id bertajuk 'Pengusaha Penjegal Migrasi Digital, Siapa?', Minggu, 19 Juli 2020.
Bambang menambahkan Rp10 tirilun dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan TV digital bagi masyarakat ekonomi ke bawah. Dengan begitu, tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang tidak dapat mengakses TV digital.
"Terdapat enam jutaan keluarga miskin. Katakanlah kita beli (TV digital) yang (harganya) Rp1 juta, ke tiap keluarga, cuman Rp6 T," tutur dia.
Selain itu, pemerintah masih dapat mencukupi kebutuhan internet di seluruh pelosok daerah. Kurang lebih ada 13 ribu desa yang tidak memiliki akses internet.
"Kita sediakan stasiun bumi itu harganya Rp8 juta. Enggak sampai Rp200 miliar, semua desa sudah bebas (terkendala) internet," tutur dia.
Bambang menduga ada segelintir pemilik media yang terus-menerus menghambat disahkannya RUU Penyiaran. Hal tersebut itu ketahuinya saat bersama-sama pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Penyiaran pada awal 2019.
Baca: ATVSI Akui Ada Perbedaan Pendapat Waktu Digitalisasi TV
Perppu telah disepakti Presiden Joko Widodo. Namun, ada perdebatan antara beberapa menteri sehingga dimediasi Kantor Staf Presiden (KSP).
"Tinggal rapat di Istana. Oleh KSP sudah ada jadwal rapat. Sejam sebelumnya tidak jadi, ada peserta (rapat) dari nonpemerintah meminta agar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkoinfo Rudiantara) agar diberi kesempatan revisi UU Penyiaran (UU Nomor 32 Tahun 2002), tidak perlu perppu," imbuh dia.
Jakarta: Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) menyebut negara merugi ratusan triliuan akibat keterlambatan perubahan dari siaran televisi analog ke TV digital. Pasalnya, ada digital deviden atau bonus digital dari migrasi penyiaran Rp10 triliun per tahunnya.
Wakil Ketua Dewan Pembina ATSDI Bambang Harymurti mengatakan migrasi sistem penyiaran terkendala Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Sudah 13 tahun RUU Penyiaran ini tidak menemui titik terang.
"Uang triliunan yang seharusnya bisa digunakan masyarakat tertunda terus," kata Bambang dalam diskusi virtual Crosschek Medcom.id bertajuk 'Pengusaha Penjegal Migrasi Digital, Siapa?', Minggu, 19 Juli 2020.
Bambang menambahkan Rp10 tirilun dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan TV digital bagi masyarakat ekonomi ke bawah. Dengan begitu, tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang tidak dapat mengakses TV digital.
"Terdapat enam jutaan keluarga miskin. Katakanlah kita beli (TV digital) yang (harganya) Rp1 juta, ke tiap keluarga, cuman Rp6 T," tutur dia.
Selain itu, pemerintah masih dapat mencukupi kebutuhan internet di seluruh pelosok daerah. Kurang lebih ada 13 ribu desa yang tidak memiliki akses internet.
"Kita sediakan stasiun bumi itu harganya Rp8 juta. Enggak sampai Rp200 miliar, semua desa sudah bebas (terkendala) internet," tutur dia.
Bambang menduga ada segelintir pemilik media yang terus-menerus menghambat disahkannya RUU Penyiaran. Hal tersebut itu ketahuinya saat bersama-sama pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Penyiaran pada awal 2019.
Baca:
ATVSI Akui Ada Perbedaan Pendapat Waktu Digitalisasi TV
Perppu telah disepakti Presiden Joko Widodo. Namun, ada perdebatan antara beberapa menteri sehingga dimediasi Kantor Staf Presiden (KSP).
"Tinggal rapat di Istana. Oleh KSP sudah ada jadwal rapat. Sejam sebelumnya tidak jadi, ada peserta (rapat) dari nonpemerintah meminta agar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkoinfo Rudiantara) agar diberi kesempatan revisi UU Penyiaran (UU Nomor 32 Tahun 2002), tidak perlu perppu," imbuh dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)