Jakarta: Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan dua tantangan mewujudkan transformasi jati diri Pancasila. Seluruh pihak harus berkomitmen membumikan kelima sila.
“Tantangan pertama yaitu kembalinya sentimen-sentimen etno religio sentris yang menjadi politik identitas,” kata Tenaga Ahli Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam diskusi virtual, Selasa, 13 September 2022.
Siti mengatakan tantangan kedua ialah masuknya paham-paham lain ke Indonesia. Apalagi, era keterbukaan digital memungkinkan arus informasi mengalir dengan sangat cepat.
“Sehingga think before posting dan saring sebelum sharing menjadi sangat penting,” papar dia.
Menurut Siti, kedua tantangan itu bisa diatasi dengan keseriusan negara dan masyarakat. Kedua pihak sama-sama menjadi agen menjaga kebebasan beragama sambil mendorong penegakan hukum.
“Harus ada harmonisasi antara exercising religious freedom sambil upholding rule of law,” ujar dia.
Siti menyebut perkembangan zaman membuat interaksi masyarakat ada batasan-batasan tertentu. Misalnya peralihan dari masyarakat tradisional yang homogen menjadi modern.
“Ketika menjadi modern, ruang publik bersifat multikultural dan plural sehingga aspek-aspek yang berpotensi membuat gesekan perlu dipertimbangkan kembali,” jelas dia.
Meski begitu, Siti menegaskan bukan berarti kebenaran agama harus dierosi. Namun interpretasi dan ekspresi beragama yang perlu diharmoniskan dengan pergeseran sosial tersebut.
Jakarta: Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan dua tantangan mewujudkan transformasi jati diri
Pancasila. Seluruh pihak harus berkomitmen membumikan kelima sila.
“Tantangan pertama yaitu kembalinya sentimen-sentimen etno religio sentris yang menjadi politik identitas,” kata Tenaga Ahli Utama KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam diskusi virtual, Selasa, 13 September 2022.
Siti mengatakan tantangan kedua ialah masuknya paham-paham lain ke Indonesia. Apalagi, era keterbukaan digital memungkinkan arus informasi mengalir dengan sangat cepat.
“Sehingga
think before posting dan saring sebelum
sharing menjadi sangat penting,” papar dia.
Menurut Siti, kedua tantangan itu bisa diatasi dengan keseriusan negara dan masyarakat. Kedua pihak sama-sama menjadi agen menjaga kebebasan beragama sambil mendorong penegakan hukum.
“Harus ada harmonisasi antara
exercising religious freedom sambil
upholding rule of law,” ujar dia.
Siti menyebut perkembangan zaman membuat interaksi masyarakat ada batasan-batasan tertentu. Misalnya peralihan dari masyarakat tradisional yang homogen menjadi modern.
“Ketika menjadi modern, ruang publik bersifat
multikultural dan plural sehingga aspek-aspek yang berpotensi membuat gesekan perlu dipertimbangkan kembali,” jelas dia.
Meski begitu, Siti menegaskan bukan berarti kebenaran agama harus dierosi. Namun interpretasi dan ekspresi beragama yang perlu diharmoniskan dengan pergeseran sosial tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)