Jakarta: Badan Legislasi DPR tetap menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok). Pemerintah diminta segera menyerahkan dokumen pembahasan tersebut.
Wakil Ketua Baleg Willy Aditya menyampaikan pesan tersebut kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Riset dan Pendidikan Tinggi (Dikti). Dia mengaku heran dengan pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Nizam yang menilai revisi UU Dikdok belum perlu dilanjutkan.
"Kalau memang tidak perlu mengapa ada Surat Presiden (Surpres) yang diterbitkan? Terbitnya surpres menunjukkan bahwa ada kesepahaman antara Presiden dengan DPR bahwa ada beberapa masalah terkait UU Dikdok ini sehingga sudah saatnya untuk direvisi," kata Willy melalui keterangan tertulis, Senin, 21 Februari 2022.
Dia menegaskan UU Dikdok diamandemen untuk melakukan penyesuaian dan permasalahan pendidikan kedokteran di Indonesia. Seperti penyesuaian dengan perkembangan teknologi.
"Dalam dunia yang akan serba digitalize, dokter niscaya hanya akan jadi fasilitator," kata dia.
Revisi UU Dikdok juga untuk menyelesaikan problem distribusi dokter. Pasalnya, persebaran tenaga medis tersebut masih terpusat di Pulau Jawa.
"Dokter tidak hanya menumpuk di Jawa tetapi secara spesifik menumpuk di wilayah perkotaan. Penyebabnya adalah kehendak untuk mengembalikan biaya pendidikan yang begitu mahal," kata dia.
Revisi UU Dikdok juga mengatasi permasalahan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Ujian kompetensi ini telah membuat calon dokter sulit menyelesaikan pendidikan.
"Masuk sulit, keluar pun sama sulitnya. Dan semua seolah harus dibayar dengan biaya yang begitu besar. Bagaimana dunia kedokteran kita akan menjadi humanis jika demikian?" ujar dia.
Baca: Revisi UU Pendidikan Kedokteran Disebut Solusi Pelayanan Kesehatan
Di sisi lain, dia mengingatkan Dirjen Riset Dikti Nizam pola kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang peka terhadap perubahan zaman. Hal itu yang membuat Kepala Negara menunjuk Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi.
"Ini tentu tidak terlepas dari terus berubahnya dunia saat ini yang dipicu oleh revolusi industri 4.0," kata dia.
Di sisi lain, tingginya biaya pendidikan kedokteran saat ini membuat sulit dijangkau oleh mereka yang terbatas secara ekonomi. Pendidikan kedokteran menjadi identik milik kalangan mampu dan berduit belaka.
"Pendidikan kedokteran ini menjadi hulu dalam upaya kita membangun sistem kesehatan nasional yang lebih beradab dan berperikemanusiaan. Jika di sektor hulunya saja menyisakan banyak masalah maka tidak akan mungkin di sektor hilirnya akan beres,” ujar dia.
Jakarta:
Badan Legislasi DPR tetap menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran (Dikdok). Pemerintah diminta segera menyerahkan dokumen pembahasan tersebut.
Wakil Ketua Baleg Willy Aditya menyampaikan pesan tersebut kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Riset dan Pendidikan Tinggi (Dikti). Dia mengaku heran dengan pernyataan Direktur Jenderal (Dirjen) Nizam yang menilai
revisi UU Dikdok belum perlu dilanjutkan.
"Kalau memang tidak perlu mengapa ada Surat Presiden (Surpres) yang diterbitkan? Terbitnya surpres menunjukkan bahwa ada kesepahaman antara Presiden dengan DPR bahwa ada beberapa masalah terkait UU Dikdok ini sehingga sudah saatnya untuk direvisi," kata Willy melalui keterangan tertulis, Senin, 21 Februari 2022.
Dia menegaskan UU Dikdok diamandemen untuk melakukan penyesuaian dan permasalahan pendidikan kedokteran di Indonesia. Seperti penyesuaian dengan perkembangan teknologi.
"Dalam dunia yang akan serba digitalize, dokter niscaya hanya akan jadi fasilitator," kata dia.
Revisi UU Dikdok juga untuk menyelesaikan problem distribusi dokter. Pasalnya, persebaran tenaga medis tersebut masih terpusat di Pulau Jawa.
"Dokter tidak hanya menumpuk di Jawa tetapi secara spesifik menumpuk di wilayah perkotaan. Penyebabnya adalah kehendak untuk mengembalikan biaya pendidikan yang begitu mahal," kata dia.
Revisi UU Dikdok juga mengatasi permasalahan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Ujian kompetensi ini telah membuat calon dokter sulit menyelesaikan pendidikan.
"Masuk sulit, keluar pun sama sulitnya. Dan semua seolah harus dibayar dengan biaya yang begitu besar. Bagaimana dunia kedokteran kita akan menjadi humanis jika demikian?" ujar dia.
Baca:
Revisi UU Pendidikan Kedokteran Disebut Solusi Pelayanan Kesehatan
Di sisi lain, dia mengingatkan Dirjen Riset Dikti Nizam pola kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang peka terhadap perubahan zaman. Hal itu yang membuat Kepala Negara menunjuk Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi.
"Ini tentu tidak terlepas dari terus berubahnya dunia saat ini yang dipicu oleh revolusi industri 4.0," kata dia.
Di sisi lain, tingginya biaya pendidikan kedokteran saat ini membuat sulit dijangkau oleh mereka yang terbatas secara ekonomi. Pendidikan kedokteran menjadi identik milik kalangan mampu dan berduit belaka.
"Pendidikan kedokteran ini menjadi hulu dalam upaya kita membangun sistem kesehatan nasional yang lebih beradab dan berperikemanusiaan. Jika di sektor hulunya saja menyisakan banyak masalah maka tidak akan mungkin di sektor hilirnya akan beres,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)