Jakarta: Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang bekas narapidana koruptor mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Upaya itu dianggap bertujuan untuk menjaga kesucian DPR.
"Dengan begitu kan parpol (partai politik) dan DPR terhindar dari tuduhan menjadi bungker koruptor," kata Arif di D'Hotel, Jalan Sultan Agung, Guntur, Jakarta Selatan, Selasa, 24 April 2018.
Larangan napi menjadi calon legislatif (caleg) tercantum dalam Rancangan Peraturan KPU (RPKPU) 2018. Namun, wacana ini ditentang sejumlah fraksi di Kompleks Senayan.
Partai politik dan DPR, kata dia, seharusnya mendukung PKPU pelarangan mantan terpidana korupsi nyaleg. Pasalnya, peraturan itu dapat memberi landasan normatif sekaligus operasional untuk membersihkan institusi politik dari politikus korup.
Sementara itu, Arif menyebut pemerintah juga berkepentingan dengan PKPU itu. Aturan ini dapat membuat pemerintah memiliki mitra yang berorientasi antikorupsi di DPR ke depan.
"Dengan kekuasaan besar, para politikus korup dapat menciptakan situasi sulit bagi pemerintah dalam agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi," ujar Arif.
Baca: Saatnya Generasi Milenial Jadi Subjek Politik
Arif mengatakan DPR dan pemerintah tidak patut berkelit melihat masalah ini. Menurut dia, peraturan itu juga dibuat KPU untuk menciptakan pemilu lebih berintegritas.
"Penyusunan peraturan ini kan demi dapat menganulir kehendak substantif untuk membatasi ruang politik bagi para koruptor," ungkap dia.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo tidak menyetujui KPU mengatur pelarangan mantan napi korupsi nyaleg. Sebaiknya, kata dia, parpol yang menyeleksi seorang mantan napi korupsi bisa maju atau tidak menjadi calon wakil rakyat.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/JKRn4dxK" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang bekas narapidana koruptor mengikuti Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Upaya itu dianggap bertujuan untuk menjaga kesucian DPR.
"Dengan begitu kan parpol (partai politik) dan DPR terhindar dari tuduhan menjadi bungker koruptor," kata Arif di D'Hotel, Jalan Sultan Agung, Guntur, Jakarta Selatan, Selasa, 24 April 2018.
Larangan napi menjadi calon legislatif (caleg) tercantum dalam Rancangan Peraturan KPU (RPKPU) 2018. Namun, wacana ini ditentang sejumlah fraksi di Kompleks Senayan.
Partai politik dan DPR, kata dia, seharusnya mendukung PKPU pelarangan mantan terpidana korupsi
nyaleg. Pasalnya, peraturan itu dapat memberi landasan normatif sekaligus operasional untuk membersihkan institusi politik dari politikus korup.
Sementara itu, Arif menyebut pemerintah juga berkepentingan dengan PKPU itu. Aturan ini dapat membuat pemerintah memiliki mitra yang berorientasi antikorupsi di DPR ke depan.
"Dengan kekuasaan besar, para politikus korup dapat menciptakan situasi sulit bagi pemerintah dalam agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi," ujar Arif.
Baca: Saatnya Generasi Milenial Jadi Subjek Politik
Arif mengatakan DPR dan pemerintah tidak patut berkelit melihat masalah ini. Menurut dia, peraturan itu juga dibuat KPU untuk menciptakan pemilu lebih berintegritas.
"Penyusunan peraturan ini kan demi dapat menganulir kehendak substantif untuk membatasi ruang politik bagi para koruptor," ungkap dia.
Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo tidak menyetujui KPU mengatur pelarangan mantan napi korupsi
nyaleg. Sebaiknya, kata dia, parpol yang menyeleksi seorang mantan napi korupsi bisa maju atau tidak menjadi calon wakil rakyat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OGI)