Jakarta: Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 Maharani ditantang segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sebagai ketua DPR perempuan, koalisi masyarakat sipil berharap komitmen Puan untuk menyelesaikan RUU tersebut.
"Identitas (sebagai perempuan) bukan segalanya. Semua tergantung dari cara pikir dan keperpihakan," kata Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty di Kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidip (Walhi) Indonesia, Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2019.
Menurut dia, sejauh ini belum ada pernyataan baik secara lisan ataupun tulisan dari Puan terhadap agenda pemberdayaan perempuan dan keadilan gender. Untuk itu, dia mendesak segera RUU PKS diprioritaskan karena berawal dari masukan para pendamping dan penyedia layanan korban kekerasan seksual.
Selain itu, ia menyebut angka kekerasan seksual di Indonesia mengkhawatirkan. RUU PKS dianggap bisa menjadi payung hukum pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. "Ini satu situasi darurat yang harus disikapi oleh negara baik eksekutif, yudikatif dan legislatif," ucap dia.
Selama ini, kata Arieska, masih banyak korban kekerasan seksual yang takut melapor kepada aparat penegak hukum atau lembaga bantuan hukum karena masih ada konstruksi masyarakat mengenai kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan. Ia mencontohkan cara berpakaian korban yang disalahkan ketika ada kekerasan seksual.
Ia pun tidak mengerti DPR tidak segera mengesahkan RUU PKS. Pasalnya, selama ini koalisi masyarakat sipil sangat dilibatkan dalam pembahasannya sehingga secara substansi RUU itu sudah sangat komprehensif.
"Kami menduga RUU ini bukan prioritas ini karena tidak mendatangkan keuntungan secara langsung pada anggota Dewan," cetus dia.
Ia pun menilai apabila pemerintah serius mendorong RUU ini disahkan seharusnya tidak ada hambatan atau perbedaan yang tajam antarfraksi di DPR mengingat pada periode ini. Fraksi di DPR mayoritas menjadi pendukung pemerintah. Hal itu dianggap memudahkan konsolidasi dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
"Kalau punya niat pasti cepat diselesaikan," tutur dia.
Sejauh ini, jelas Arieska, masyarakat sipil yang turut menginisiasi RUU PKS belum secara resmi meminta untuk bertemu dengan pimpinan DPR. Namun, komunikasi mengenai kebijakan terkait gender dan perempuan selalu dibicarakan dengan Kaukus Perempuan Parlemen.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ybDzox0K" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 Maharani ditantang segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sebagai ketua DPR perempuan, koalisi masyarakat sipil berharap komitmen Puan untuk menyelesaikan RUU tersebut.
"Identitas (sebagai perempuan) bukan segalanya. Semua tergantung dari cara pikir dan keperpihakan," kata Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Arieska Kurniawaty di Kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidip (Walhi) Indonesia, Jakarta, Selasa, 15 Oktober 2019.
Menurut dia, sejauh ini belum ada pernyataan baik secara lisan ataupun tulisan dari Puan terhadap agenda pemberdayaan perempuan dan keadilan gender. Untuk itu, dia mendesak segera RUU PKS diprioritaskan karena berawal dari masukan para pendamping dan penyedia layanan korban kekerasan seksual.
Selain itu, ia menyebut angka kekerasan seksual di Indonesia mengkhawatirkan. RUU PKS dianggap bisa menjadi payung hukum pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. "Ini satu situasi darurat yang harus disikapi oleh negara baik eksekutif, yudikatif dan legislatif," ucap dia.
Selama ini, kata Arieska, masih banyak korban kekerasan seksual yang takut melapor kepada aparat penegak hukum atau lembaga bantuan hukum karena masih ada konstruksi masyarakat mengenai kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan. Ia mencontohkan cara berpakaian korban yang disalahkan ketika ada kekerasan seksual.
Ia pun tidak mengerti DPR tidak segera mengesahkan
RUU PKS. Pasalnya, selama ini koalisi masyarakat sipil sangat dilibatkan dalam pembahasannya sehingga secara substansi RUU itu sudah sangat komprehensif.
"Kami menduga RUU ini bukan prioritas ini karena tidak mendatangkan keuntungan secara langsung pada anggota Dewan," cetus dia.
Ia pun menilai apabila pemerintah serius mendorong RUU ini disahkan seharusnya tidak ada hambatan atau perbedaan yang tajam antarfraksi di DPR mengingat pada periode ini. Fraksi di DPR mayoritas menjadi pendukung pemerintah. Hal itu dianggap memudahkan konsolidasi dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
"Kalau punya niat pasti cepat diselesaikan," tutur dia.
Sejauh ini, jelas Arieska, masyarakat sipil yang turut menginisiasi RUU PKS belum secara resmi meminta untuk bertemu dengan pimpinan DPR. Namun, komunikasi mengenai kebijakan terkait gender dan perempuan selalu dibicarakan dengan Kaukus Perempuan Parlemen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)