Ilustrasi TNI/Branda Antara
Ilustrasi TNI/Branda Antara

Redam Konflik Internal TNI, Pemilihan Panglima Didorong Objektif

Indriyani Astuti • 10 September 2022 13:28
Jakarta: Isu disharmoni antara Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mesti diselesaikan. Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengatakan masalah tersebut berpotensi mendampak pergantian Panglima TNI.
 
Araf mendorong pemilihan Panglima TNI berdasarkan objektivitas, bukan politis. Panglima TNI Andika Perkasa pensiun pada usia 58 tahun di Desember 2022.
 
"Dinamika pergantian panglima TNI nanti akan mengalami kontestasi yang ketat. Meski harusnya panglima TNI ke depan (dipilih) berdasar prinsip rotasi," terang Araf ketika dihubungi, Sabtu, 10 September 2022.
 

Baca: Legislator Singgung Disharmoni Hubungan Panglima TNI dengan KSAD


Araf menjelaskan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengamanatkan pemilihan Panglima TNI berdasarkan rotasi dari setiap matra. Pasal 13 ayat (3) UU itu menginstruksikan Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR.

Pergantian masa tugas tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI. Lalu Pasal 13 ayat (4) UU TNI berbunyi 'Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.'
 
"Kalau melihat UU TNI, (pengangkatan panglima) jatuhnya ke angkatan laut (KSAL)," kata Araf.
 
Presiden, ujarnya, mempunyai hak memilih Panglima selanjutnya. Dia meminta hak itu digunakan secara objektif. Jangan sampai pergantian pucuk pimpinan memicu ketegangan di dalam institusi tersebut.
 
"Perlu dilakukan secara objektif dengan mempertimbangkan banyak variabel dan jangan hanya pertimbangan politis. Dimenasi politis kadang mengakibatkan ketegangan di dalam TNI maupun Polri," ucap Araf.
 
Presiden disarankan menerapkan pola kontrol dengan melibatkan masyarakat sipil. Kontrol dari masyarakat sipil diyakini meredam politisasi dan konflik internal baik di institusi TNI maupun Polri.
 
"Pemimpin sipil jangan mempolitisasi TNI maupun Polri karena itu akan berdampak negatif pada pembangunan profesionalisme kedua lembaga. Mengakibatkan konflik internal seperti yang terjadi dalam kasus Panglima dan KSAD," ujar Araf.
 
Ia menilai pola kontrol pemimpin yang berasal dari sipil terhadap militer maupun polisi menjadi awal persoalan masalah konflik di dalam tubuh TNI maupun Polri. Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membangun strategi politik antara lain dalam proses pergantian pimpinan.
 
"Sehingga terjadi lah konflik Panglima TNI dan KSAD. Strategi ini dilakukan pemimpin sipil dengan harapan posisi mereka kuat secara poltik di hadapan militer maupun Polri," cetusnya.
 
Apabila dibiarkan, Araf mengatakan situasi dan kondisi itu mengakibatkan rapuhnya konsolidasi di dalam TNI dan Polri serta berdampak negatif terhadap upaya membangun profesionalisme di kedua institusi tersebut.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan