Jakarta: Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja potensial mengangkangi konstitusi. Sebab, ada poin yang bisa membuat pemerintah leluasa mengubah UU tanpa persetujuan DPR.
"Kalau diberi wewenang untuk mengubah undang-undang itu perlu kajian hukum yang mendalam, ketatanegaraannya seperti apa?" kata Rahmad kepada Medcom.id, Senin, 17 Februari 2020.
Rahmad menyebut aturan RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar konstitusi yakni Pasal 170. Bunyinya; dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja, pemerintah berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.
Menurut Rahmad, regulasi sudah melanggar konstiusi. Pasalnya, pemerintah hanya bisa membatalkan undang-undang dengan peraturan presiden atau persetujuan DPR dan MPR.
"Kalau mengubah undang-undang itu perlu kajian mendalam terkait pelanggaran atau tidaknya dari masukan ahli hukum ketatanegaraan," ujar Rahmad.
Rahmad mengaku bakal menyoroti pasal ini. Ia memastikan RUU Cipta Kerja masih amat dinamis dalam proses pembahasannya. Aturan yang ada bisa ditambah atau dikurangi.
"Kita kan nanti harus sama artinya memberi teks kosong kepada pemerintah, harus kita pikirkan bareng-bareng," ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo. Medcom/Candra Yuri Nuralam
Pemerintah menyerahkan draf omnibus law RUU Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani, Rabu, 12 Februari 2020. Draf terdiri atas 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal. Draf akan dibahas pemerintah dengan tujuh komisi di DPR.
Sebelum masuk ke tahap pembahasan, draf omnibus law ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bamus lantas membuka ruang kepada seluruh elemen publik untuk memberikan masukan.
Substansi dari omnibus law ini mencakup 11 klaster, yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/xkEYmv3k" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja potensial mengangkangi konstitusi. Sebab, ada poin yang bisa membuat pemerintah leluasa mengubah UU tanpa persetujuan DPR.
"Kalau diberi wewenang untuk mengubah undang-undang itu perlu kajian hukum yang mendalam, ketatanegaraannya seperti apa?" kata Rahmad kepada Medcom.id, Senin, 17 Februari 2020.
Rahmad menyebut aturan RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar konstitusi yakni Pasal 170. Bunyinya; dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja, pemerintah berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.
Menurut Rahmad, regulasi sudah melanggar konstiusi. Pasalnya, pemerintah hanya bisa membatalkan undang-undang dengan peraturan presiden atau persetujuan DPR dan MPR.
"Kalau mengubah undang-undang itu perlu kajian mendalam terkait pelanggaran atau tidaknya dari masukan ahli hukum ketatanegaraan," ujar Rahmad.
Rahmad mengaku bakal menyoroti pasal ini. Ia memastikan RUU Cipta Kerja masih amat dinamis dalam proses pembahasannya. Aturan yang ada bisa ditambah atau dikurangi.
"Kita kan nanti harus sama artinya memberi teks kosong kepada pemerintah, harus kita pikirkan bareng-bareng," ucapnya.
Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo. Medcom/Candra Yuri Nuralam
Pemerintah menyerahkan draf
omnibus law RUU Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani, Rabu, 12 Februari 2020. Draf terdiri atas 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal. Draf akan dibahas pemerintah dengan tujuh komisi di DPR.
Sebelum masuk ke tahap pembahasan, draf omnibus law ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bamus lantas membuka ruang kepada seluruh elemen publik untuk memberikan masukan.
Substansi dari omnibus law ini mencakup 11 klaster, yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)