Jakarta: Pemerintah dan DPR diminta lebih transparan dalam membahas Omnibus Law Cipta Kerja. Masyarakat dinilai perlu dilibatkan dalam pembahasan agar penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut tidak membesar.
"Sejak awal memang begitu, kurang sosialisasi dan sekarang ternyata isi draftnya tidak menguntungkan, khususnya bagi kalangan buruh," ujar pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, ketika dihubungi, Jakarta, Minggu, 16 Februari 2020.
Ujang mengatakan pemerintah dan DPR akan membuat UU yang tak menguntungkan bagi masyarakat bila pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa melibatkan masyarakat. "Sejatinya kalau menurut undang-undang jangan hanya bersumber dari kepentingan pemerintah, DPR, dan sebagian kalangan saja," ujar Ujang.
Ujang berharap pemerintah dan DPR juga mau lebih membuka diri untuk menerima masukan. Dengan begitu, pasal-pasal yang dianggap merugikan dapat diubah.
"DPR ini kan sejatinya lembaga politik yang representasi rakyat, mereka wakil rakyat. Mereka harus buktikan itu dengan membuat aturan yang tidak merugikan rakyat," ujar Ujang.
Pengamat politik Ujang Komarudin. Foto: Medcom.id/Cindy
Rabu, 12 Februari 2020, pemerintah menyerahkan draf Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani. Draf terdiri atas 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal. Draf akan dibahas pemerintah dengan tujuh komisi di DPR.
Sebelum masuk ke tahap pembahasan, draf omnibus law ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bamus lantas membuka ruang kepada seluruh elemen publik untuk memberikan masukan.
Substansi dari omnibus law ini mencakup 11 klaster, yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi. (Putri Rosmalia Octaviyani/MI)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/xkEYmv3k" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Pemerintah dan DPR diminta lebih transparan dalam membahas
Omnibus Law Cipta Kerja. Masyarakat dinilai perlu dilibatkan dalam pembahasan agar penolakan terhadap rancangan undang-undang tersebut tidak membesar.
"Sejak awal memang begitu, kurang sosialisasi dan sekarang ternyata isi draftnya tidak menguntungkan, khususnya bagi kalangan buruh," ujar pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, ketika dihubungi, Jakarta, Minggu, 16 Februari 2020.
Ujang mengatakan pemerintah dan DPR akan membuat UU yang tak menguntungkan bagi masyarakat bila pembahasan RUU Cipta Kerja tanpa melibatkan masyarakat. "Sejatinya kalau menurut undang-undang jangan hanya bersumber dari kepentingan pemerintah, DPR, dan sebagian kalangan saja," ujar Ujang.
Ujang berharap pemerintah dan DPR juga mau lebih membuka diri untuk menerima masukan. Dengan begitu, pasal-pasal yang dianggap merugikan dapat diubah.
"DPR ini kan sejatinya lembaga politik yang representasi rakyat, mereka wakil rakyat. Mereka harus buktikan itu dengan membuat aturan yang tidak merugikan rakyat," ujar Ujang.
Pengamat politik Ujang Komarudin. Foto: Medcom.id/Cindy
Rabu, 12 Februari 2020, pemerintah menyerahkan draf Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani. Draf terdiri atas 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal. Draf akan dibahas pemerintah dengan tujuh komisi di DPR.
Sebelum masuk ke tahap pembahasan, draf omnibus law ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bamus lantas membuka ruang kepada seluruh elemen publik untuk memberikan masukan.
Substansi dari omnibus law ini mencakup 11 klaster, yakni Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah, dan Kawasan Ekonomi. (
Putri Rosmalia Octaviyani/MI)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)