Jakrta: Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) belum ada kejelasan. Perjuangan menghadirkan payung hukum kepada pekerja domestik itu dinilai sia-sia.
“Sejak 2004 RUU PPRT bolak balik keluar masuk dari daftar prolegnas DPR RI, selama 19 tahun para PRT menunggu adanya payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini,” kata Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini saat dikutip dari Media Indonesia, Senin, 7 Agustus 2023.
Lita menyampaikan belum disahkannya RUU PPRT berakibat pada pembiaran terhadap segala bentuk kekerasan dan penderitaan yang dialami PRT. Seharusnya, segala penderitaan itu harus didengar lembaga legislatif pusat.
"Dan sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT," ungkap dia.
Dia menegaskan RUU PPRT dinilai sangat urgen. Negara harus turun tangan melindungi PRT, terutama melalui instrumen-instrumen hukum.
"Hal inilah yang membuat RUU PPRT menjadi sangat penting untuk segera dibahas dan disahkan oleh DPR,” tegas dia.
PRT dinilai memiliki kerentanan yang lebih besar mengalami penyiksaan dan kekerasan. Sebab, mereka bekerja di ranah privat atau pribadi, dalam hal ini rumah yang menjadi tempat kerjanya.
Lingkup tempat kerja privat rentan terjadi kekerasan karena mudah ditutupi. PRT juga dinilai rentan menjadi korban perbudakan modern.
Perbudakan modern setidaknya terdiri atas tiga unsur. Yakni, relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku-korban, adanya paksaan atau koersi, dan adanya ketidakmampuan korban melepaskan diri dari perbudakan yang dialami.
Adapun bentuk perbudakan modern yaitu perdagangan manusia, kerja paksa, bonded labor (perbudakan utang), eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, hingga pengambilan organ tubuh ilegal.
“Hal-hal seperti pemukulan, waktu kerja yang di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual sangat rentang dialami oleh para PRT,” ujar dia.
Jala PRT mencatat 1.635 kasus multi kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.
Data-data tersebut dinilai sebagai fenomena puncak gunung es. Diyakini, masih banyak kasus yang tak dilaporkan. (MI/Despian Nurhidayat)
Jakrta: Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) belum ada kejelasan. Perjuangan menghadirkan payung hukum kepada pekerja domestik itu dinilai sia-sia.
“Sejak 2004
RUU PPRT bolak balik keluar masuk dari daftar prolegnas
DPR RI, selama 19 tahun para PRT menunggu adanya payung hukum yang melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, penyiksaan, dan perbudakan modern yang terjadi saat ini,” kata Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini saat dikutip dari
Media Indonesia, Senin, 7 Agustus 2023.
Lita menyampaikan belum disahkannya RUU PPRT berakibat pada pembiaran terhadap segala bentuk
kekerasan dan penderitaan yang dialami PRT. Seharusnya, segala penderitaan itu harus didengar lembaga legislatif pusat.
"Dan sesegera mungkin mengesahkan RUU PPRT," ungkap dia.
Dia menegaskan RUU PPRT dinilai sangat urgen. Negara harus turun tangan melindungi PRT, terutama melalui instrumen-instrumen hukum.
"Hal inilah yang membuat RUU PPRT menjadi sangat penting untuk segera dibahas dan disahkan oleh DPR,” tegas dia.
PRT dinilai memiliki kerentanan yang lebih besar mengalami penyiksaan dan kekerasan. Sebab, mereka bekerja di ranah privat atau pribadi, dalam hal ini rumah yang menjadi tempat kerjanya.
Lingkup tempat kerja privat rentan terjadi kekerasan karena mudah ditutupi. PRT juga dinilai rentan menjadi korban perbudakan modern.
Perbudakan modern setidaknya terdiri atas tiga unsur. Yakni, relasi kuasa yang tak seimbang antara pelaku-korban, adanya paksaan atau koersi, dan adanya ketidakmampuan korban melepaskan diri dari perbudakan yang dialami.
Adapun bentuk perbudakan modern yaitu
perdagangan manusia, kerja paksa,
bonded labor (perbudakan utang), eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, hingga pengambilan organ tubuh ilegal.
“Hal-hal seperti pemukulan, waktu kerja yang di luar akal sehat, hingga kekerasan seksual sangat rentang dialami oleh para PRT,” ujar dia.
Jala PRT mencatat 1.635 kasus multi kekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi.
Data-data tersebut dinilai sebagai fenomena puncak gunung es. Diyakini, masih banyak kasus yang tak dilaporkan.
(MI/Despian Nurhidayat) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)