Jakarta: DPR masih bersikeras melanjutkan draf revisi Undang-Undang Penyiaran meski banyak penolakan dari komunitas pers. Sikap anggota dewan itu dinilai karena takut dengan investigative reporting atau jurnalistik investigasi.
"Investigative reporting itu dapat mengungkap atau membongkar sesuatu yang ditutup-tutupi. Hal itu tentu dapat menyasar siapa saja, termasuk gedung DPR dan orang yang ada di dalamnya," kata Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga kepada Medcom.id, Sabtu, 18 Mei 2024.
Jamiluddin mengatakan investigative reporting bagi sebagian orang adalah ancaman. Karena bisa seperti pisau bermata dua. Bisa mengena ke orang lain, tapi juga bisa melukai diri sendiri.
"Hal itu bisa jadi menakutkan bagi sebagian anggota dewan. Mereka khawatir investigative reporting bisa menyasar mereka, termasuk kelompoknya," ujar Jamiluddin.
Namun, dia menyebut anggota dewan tidak perlu takut dengan adanya investigative reporting bila tidak ada yang ditutup-tutupi. Malah, kata dia, wakil rakyat itu akan merasa terbantu karena melalui investigative reporting dapat diperoleh data yang lebih akurat.
"Bagi wartawan dapat melakukan investigative reporting merupakan kebanggaan. Sebab, tidak semua wartawan mampu melakukannya," ucap dia.
Bahkan, hasil investigative reporting dapat menjadi bukti sejarah. Dia mencontohkan kasus korupsi Pertamina zaman Ibnu Soetowo yang diungkap oleh koran Indonesia Raya.
Dengan investigative reporting dapat mengungkap persoalan-persoalan besar yang ditutupi. Celakanya, kata Jamiluddin, yang kerap menutupi kasus justru orang yang punya kekuasaan.
"Mungkin itu sebabnya mereka risih dengan kemerdekaan pers, khususnya praktik investigative reporting. Bagi mereka kemerdekaan pers bisa mengancam dirinya atau kelompoknya," ujar dia.
Sebelumnya, draf rancangan RUU Penyiaran menuai kritik dari publik, terutama para pegiat dan pelakon jurnalistik. Revisi yang sedianya diharapkan menciptakan asas keadilan bagi industri penyiaran di tengah era kemunculan media-media baru berbasis digital itu, justru dikhawatirkan menjadi pintu masuk pembungkaman pers.
Salah satu yang menjadi sorotan ialah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dari draf yang beredar di masyarakat, hal itu tertangkap jelas pada Pasal 56 Ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran. Terutama pada poin C yang menjelaskan larangan itu mencakup 'penayangan eksklusif jurnalistik investigasi'.
Jakarta:
DPR masih bersikeras melanjutkan draf revisi Undang-Undang Penyiaran meski banyak penolakan dari komunitas
pers. Sikap anggota dewan itu dinilai karena takut dengan investigative reporting atau
jurnalistik investigasi.
"
Investigative reporting itu dapat mengungkap atau membongkar sesuatu yang ditutup-tutupi. Hal itu tentu dapat menyasar siapa saja, termasuk gedung DPR dan orang yang ada di dalamnya," kata Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga kepada
Medcom.id, Sabtu, 18 Mei 2024.
Jamiluddin mengatakan
investigative reporting bagi sebagian orang adalah ancaman. Karena bisa seperti pisau bermata dua. Bisa mengena ke orang lain, tapi juga bisa melukai diri sendiri.
"Hal itu bisa jadi menakutkan bagi sebagian anggota dewan. Mereka khawatir
investigative reporting bisa menyasar mereka, termasuk kelompoknya," ujar Jamiluddin.
Namun, dia menyebut anggota dewan tidak perlu takut dengan adanya
investigative reporting bila tidak ada yang ditutup-tutupi. Malah, kata dia, wakil rakyat itu akan merasa terbantu karena melalui investigative reporting dapat diperoleh data yang lebih akurat.
"Bagi wartawan dapat melakukan
investigative reporting merupakan kebanggaan. Sebab, tidak semua wartawan mampu melakukannya," ucap dia.
Bahkan, hasil
investigative reporting dapat menjadi bukti sejarah. Dia mencontohkan kasus korupsi Pertamina zaman Ibnu Soetowo yang diungkap oleh koran Indonesia Raya.
Dengan
investigative reporting dapat mengungkap persoalan-persoalan besar yang ditutupi. Celakanya, kata Jamiluddin, yang kerap menutupi kasus justru orang yang punya kekuasaan.
"Mungkin itu sebabnya mereka risih dengan kemerdekaan pers, khususnya praktik
investigative reporting. Bagi mereka kemerdekaan pers bisa mengancam dirinya atau kelompoknya," ujar dia.
Sebelumnya, draf rancangan RUU Penyiaran menuai kritik dari publik, terutama para pegiat dan pelakon jurnalistik. Revisi yang sedianya diharapkan menciptakan asas keadilan bagi industri penyiaran di tengah era kemunculan media-media baru berbasis digital itu, justru dikhawatirkan menjadi pintu masuk pembungkaman pers.
Salah satu yang menjadi sorotan ialah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dari draf yang beredar di masyarakat, hal itu tertangkap jelas pada Pasal 56 Ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran. Terutama pada poin C yang menjelaskan larangan itu mencakup 'penayangan eksklusif jurnalistik investigasi'.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)