Jakarta: Wakil Ketua Dewan Pembina Asosiasi Televisi Digital Indonesia (ATDI) Bambang Harymurti menyebut tidak semua pelaku usaha media penyiaran menginginkan perubahan siaran televisi analog ke digital. Terdapat tiga pemilik media yang tidak setuju adanya migrasi sistem penyiaran TV di Indonesia.
Bambang menjelaskan analog switch off (ASO) atau TV digital menggunakan sistem penyiaran multiplexing yang dapat mentransmisi 12 program dalam satu kanal secara bersamaan. Sistem tersebut menimbulkan penolakan di tiga perusahaan penyiaran.
"Saya kenal baik dengan salah satu (pemilik). Ternyata begitu ngomongin ASO (dia bilang), 'Oh enggak bisa dong kan kita punya satu kanal, kalau dibagi 12, ya dua belas-dua belasnya untuk saya'," tiru Bambang, dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk 'Pengusaha Penjegal Migrasi Digital, Siapa?', Minggu, 19 Juli 2020.
Bambang menyebut frekuensi penyiaran milik masyarakat. Hal ini diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Ini kan serakah. (Berbagi frekuensi) tidak akan miskin. Kalau dengan sistem analog apa bisa tambah kaya," tutur dia
Menurut dia, beberapa perusahan media itu memiliki perusahaan lain yang bergerak dalam bidang industri elektronik. Dia menduga ada ego pribadi yang ingin dituju.
Dampak tindakan dari itu membuat negara merugi hingga mencapai ratusan triliun. Pasalnya, negara bisa menerima deviden digital atau bonus digital dari migrasi penyiaran Rp10 triliun setiap tahunnya.
Baca: ATVSI Akui Ada Perbedaan Pendapat Waktu Digitalisasi TV
Namun, Bambang enggan menyebut tiga pemilik perusahaan itu. Ia meyakini tidak semua perusahaan media penyiaran yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) tidak menyetujui perubahan penyiran digital. Dia mencontohkan pemilik Media Group Surya Paloh dan Trans Media Chairul Tanjung mendukung rencana migrasi penyiaran.
Jakarta: Wakil Ketua Dewan Pembina Asosiasi Televisi Digital Indonesia (ATDI) Bambang Harymurti menyebut tidak semua pelaku usaha media penyiaran menginginkan perubahan siaran televisi analog ke digital. Terdapat tiga pemilik media yang tidak setuju adanya migrasi sistem penyiaran TV di Indonesia.
Bambang menjelaskan
analog switch off (ASO) atau TV digital menggunakan sistem penyiaran
multiplexing yang dapat mentransmisi 12 program dalam satu kanal secara bersamaan. Sistem tersebut menimbulkan penolakan di tiga perusahaan penyiaran.
"Saya kenal baik dengan salah satu (pemilik). Ternyata begitu
ngomongin ASO (dia bilang), 'Oh enggak bisa dong kan kita punya satu kanal, kalau dibagi 12, ya dua belas-dua belasnya untuk saya'," tiru Bambang, dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk 'Pengusaha Penjegal Migrasi Digital, Siapa?', Minggu, 19 Juli 2020.
Bambang menyebut frekuensi penyiaran milik masyarakat. Hal ini diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Ini kan serakah. (Berbagi frekuensi) tidak akan miskin. Kalau dengan sistem analog apa bisa tambah kaya," tutur dia
Menurut dia, beberapa perusahan media itu memiliki perusahaan lain yang bergerak dalam bidang industri elektronik. Dia menduga ada ego pribadi yang ingin dituju.
Dampak tindakan dari itu membuat negara merugi hingga mencapai ratusan triliun. Pasalnya, negara bisa menerima deviden digital atau bonus digital dari migrasi penyiaran Rp10 triliun setiap tahunnya.
Baca:
ATVSI Akui Ada Perbedaan Pendapat Waktu Digitalisasi TV
Namun, Bambang enggan menyebut tiga pemilik perusahaan itu. Ia meyakini tidak semua perusahaan media penyiaran yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) tidak menyetujui perubahan penyiran digital. Dia mencontohkan pemilik Media Group Surya Paloh dan Trans Media Chairul Tanjung mendukung rencana migrasi penyiaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)