Jakarta: Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai Pasal 122 huruf K dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) merupakan pasal antikritik yang bisa menyandera demokrasi. Dia menganggap pasal tersebut tak layak diterapkan di era keterbukaan seperti saat ini.
"Dalam era undang-undang sebelumnya era otoraterian saja tidak ada ketentuan seperti ini," ujar Sebastian dalam diskusi Populi Center dan Smart FM Network dengan tema 'DPR Takut Kritik' di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 17 Februari 2018.
Pasal 122 huruf K itu berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berhak melakukan pelaporan terkait adanya pelanggaran hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan penghinaan terhadap anggota DPR dan lembaga DPR.
(Baca juga: Formappi: DPR Tidak Ramah Kritik)
Menurut Sebastian, kemunculan pasal antikritik itu malah justru merendahkan martabat anggota parlemen. "Ini adalah pasal karet dan pasal sapu jagat yang nanti bias dikenakan siapa saja," tukasnya.
Kata Sebastian, MKD hingga saat ini belum mampu menjadi aparat penegak hukum yang bisa mengadili anggota DPR dari pelanggaran. Kini tugasnya MKD bertambah karena harus mengadili masyarakat yang mengkritik anggota DPR.
"MKD dibentuk bukan untuk seperti ini. Bisa jadi MKD malah sibuk mengurusi untuk memenjarakan masyarakat daripada mengurusi anggota DPR yang melanggar kode etik," paparnya.
(Baca juga: DPR Diminta tak Berlindung di UU MD3)
Pasal ini jelas menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Kebebasan berpendapat malah justru dibungkam.
"Kalau dibiarkan, menurut saya bakal menyeret DPR menjadi mundur jauh ke belakang. Mestinya DPR diajak melangkah ke depan menuju DPR yang modern, DPR yang bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi dan informasi seperti zaman sekarang," tutup Sebastian.
Jakarta: Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai Pasal 122 huruf K dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) merupakan pasal antikritik yang bisa menyandera demokrasi. Dia menganggap pasal tersebut tak layak diterapkan di era keterbukaan seperti saat ini.
"Dalam era undang-undang sebelumnya era otoraterian saja tidak ada ketentuan seperti ini," ujar Sebastian dalam diskusi Populi Center dan Smart FM Network dengan tema 'DPR Takut Kritik' di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 17 Februari 2018.
Pasal 122 huruf K itu berbunyi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berhak melakukan pelaporan terkait adanya pelanggaran hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan penghinaan terhadap anggota DPR dan lembaga DPR.
(Baca juga:
Formappi: DPR Tidak Ramah Kritik)
Menurut Sebastian, kemunculan pasal antikritik itu malah justru merendahkan martabat anggota parlemen. "Ini adalah pasal karet dan pasal sapu jagat yang nanti bias dikenakan siapa saja," tukasnya.
Kata Sebastian, MKD hingga saat ini belum mampu menjadi aparat penegak hukum yang bisa mengadili anggota DPR dari pelanggaran. Kini tugasnya MKD bertambah karena harus mengadili masyarakat yang mengkritik anggota DPR.
"MKD dibentuk bukan untuk seperti ini. Bisa jadi MKD malah sibuk mengurusi untuk memenjarakan masyarakat daripada mengurusi anggota DPR yang melanggar kode etik," paparnya.
(Baca juga:
DPR Diminta tak Berlindung di UU MD3)
Pasal ini jelas menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia. Kebebasan berpendapat malah justru dibungkam.
"Kalau dibiarkan, menurut saya bakal menyeret DPR menjadi mundur jauh ke belakang. Mestinya DPR diajak melangkah ke depan menuju DPR yang modern, DPR yang bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi dan informasi seperti zaman sekarang," tutup Sebastian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(HUS)