Jakarta: Gerakan mahasiswa yang menuntut pembatalan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) diminta tak berhenti. RUU yang dianggap merugikan rakyat harus terus dikawal.
"Jadi aktivis itu bukan sehari dua hari, tapi sejak jadi mahasiswa sampai dia lulus itu harus menegakkan keadilan," kata analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 28 September 2019.
Menurut dia, mahasiswa tak boleh alergi bila gerakannya dituding ditunggangi. Mobilisasi massa memang rentan ditunggangi. Namun, penunggangan gerakan mahasiswa bukan untuk kepentingan elite dan kelompok tertentu, melainkan demi kepentingan orang banyak.
"Saya (dulu) demo jalan kaki dari Ciputat ke Senayan juga ditunggangi kok, apalagi sekarang ini demonya banyak sekali busnya, dari mana duitnya? Apakah dari kas BEM (badan eksekutif mahasiswa)? Kan enggak mungkin. Apa dari kampus? Kan juga enggak mungkin," ketus dia.
Tudingan yang digulirkan pihak tertentu, jelas dia, harus bisa dibantah dengan kajian mahasiswa sebelum turun aksi. Mahasiswa harus tahan banting terhadap hal-hal tersebut.
"Jadi kalau ini (gerakan aksi mahasiswa) ada yang bilang ini dimobilisasi, harusnya biasa-biasa saja. Jadi aktivis itu enggak perlu cengeng, jawab saja memang dimobilisasi. Kenapa memang? Toh mobilisasi ini tujuannya untuk keadilan dan untuk kepentingan bangsa, itu saja," ungkap dia.
Bagi Adi, gerakan mahasiswa harus kontinu. Hari ini demo dan tidak dikabulkan, keesokannya mereka harus terus turun ke jalan. "Tunduk ditindas atau bangkit melawan, mahasiswa harus bangkit dan lawan," tutur dia.
Gelombang penolakan pengesahan sejumlah RUU mengalir dari elemen mahasiswa dan sejumlah kelompok masyarakat. Mereka mendemo DPR pada Senin, 23 September 2019, dan Selasa, 24 September 2019.
Mahasiswa menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka juga memprotes pengesahan RUU Perubahan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan lantaran dinilai melonggarkan hukuman koruptor.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/nbwQLRDK" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Gerakan mahasiswa yang menuntut pembatalan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) diminta tak berhenti. RUU yang dianggap merugikan rakyat harus terus dikawal.
"Jadi aktivis itu bukan sehari dua hari, tapi sejak jadi mahasiswa sampai dia lulus itu harus menegakkan keadilan," kata analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno dalam diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 28 September 2019.
Menurut dia, mahasiswa tak boleh alergi bila gerakannya dituding ditunggangi. Mobilisasi massa memang rentan ditunggangi. Namun, penunggangan gerakan mahasiswa bukan untuk kepentingan elite dan kelompok tertentu, melainkan demi kepentingan orang banyak.
"Saya (dulu) demo jalan kaki dari Ciputat ke Senayan juga ditunggangi kok, apalagi sekarang ini demonya banyak sekali busnya, dari mana duitnya? Apakah dari kas BEM (badan eksekutif mahasiswa)? Kan enggak mungkin. Apa dari kampus? Kan juga enggak mungkin," ketus dia.
Tudingan yang digulirkan pihak tertentu, jelas dia, harus bisa dibantah dengan kajian mahasiswa sebelum turun aksi. Mahasiswa harus tahan banting terhadap hal-hal tersebut.
"Jadi kalau ini (gerakan aksi mahasiswa) ada yang bilang ini dimobilisasi, harusnya biasa-biasa saja. Jadi aktivis itu enggak perlu cengeng, jawab saja memang dimobilisasi. Kenapa memang? Toh mobilisasi ini tujuannya untuk keadilan dan untuk kepentingan bangsa, itu saja," ungkap dia.
Bagi Adi, gerakan mahasiswa harus kontinu. Hari ini demo dan tidak dikabulkan, keesokannya mereka harus terus turun ke jalan. "Tunduk ditindas atau bangkit melawan, mahasiswa harus bangkit dan lawan," tutur dia.
Gelombang penolakan pengesahan sejumlah RUU mengalir dari elemen
mahasiswa dan sejumlah kelompok masyarakat. Mereka mendemo DPR pada Senin, 23 September 2019, dan Selasa, 24 September 2019.
Mahasiswa menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka juga memprotes pengesahan RUU Perubahan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan lantaran dinilai melonggarkan hukuman koruptor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)