Jakarta: Rancangan undang-undang penyiaran masih terus digodok dan dibahas di Komisi I DPR RI. Salah satu perdebatan mengenai penerapan sistem penyiaran single mux dan multi mux.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo mengatakan RUU Penyiaran tak bisa langsung disahkan di paripurna tanpa keputusan terlebih dahulu di badan legislasi. Pemerintah ngotot ingin menerapkan sistem single mux. Namun, dikhawatirkan pemerintah semakin mudah mengontrol dunia penyiaran di tanah air.
Alotnya pembahasan di parlemen, badan legislasi mengusulkan sistem penyiaran hybrid atau penggabungan antara sistem single mux dan multi mux. Sehingga perdebatan antara single atau multi bisa diambil jalan tengahnya.
"Dari pihak yang sudah memiliki frekuensi lebih dari satu itu kan dikembalikan kepada negara. Itulah namanya hybrid. Sehingga kita tidak terjebak pada perdebatan singel dan multi," beber dia pada wartawan, Kamis, 1 Januari 2018.
(Baca juga: RUU Penyiaran tak Bisa Langsung Disahkan di Paripurna)
Perusahaan televisi swasta yang memiliki satu frekuensi mengunakan resolusi rendah itu bisa digunakan untuk 10-12 kanal. Dari itu, frekuensi mereka bisa dibagikan kepada perusaahan yang baru berkembang.
"Itu akan diatur oleh pemerintah dan kementerian terkait yang kemudian sewa menyewanya akan diatur pemerintah. Sebetulnya akan jadi sebuah persaingan yang sehat. Dan kemudian juga tidak akan menjadi beban kepada negara," jelas Firman.
Sebelumnya, salah satu yang paling mencuat dalam RUU Penyiaran ini adalah penetapan TVRI sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran. Usulan Single Mux mencuat dalam proses penggodokan draf revisi Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2012.
(Baca juga: Usulan ATVSI terkait RUU Penyiaran)
Jakarta: Rancangan undang-undang penyiaran masih terus digodok dan dibahas di Komisi I DPR RI. Salah satu perdebatan mengenai penerapan sistem penyiaran single mux dan multi mux.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Firman Subagyo mengatakan RUU Penyiaran tak bisa langsung disahkan di paripurna tanpa keputusan terlebih dahulu di badan legislasi. Pemerintah ngotot ingin menerapkan sistem single mux. Namun, dikhawatirkan pemerintah semakin mudah mengontrol dunia penyiaran di tanah air.
Alotnya pembahasan di parlemen, badan legislasi mengusulkan sistem penyiaran hybrid atau penggabungan antara sistem single mux dan multi mux. Sehingga perdebatan antara single atau multi bisa diambil jalan tengahnya.
"Dari pihak yang sudah memiliki frekuensi lebih dari satu itu kan dikembalikan kepada negara. Itulah namanya hybrid. Sehingga kita tidak terjebak pada perdebatan singel dan multi," beber dia pada wartawan, Kamis, 1 Januari 2018.
(Baca juga:
RUU Penyiaran tak Bisa Langsung Disahkan di Paripurna)
Perusahaan televisi swasta yang memiliki satu frekuensi mengunakan resolusi rendah itu bisa digunakan untuk 10-12 kanal. Dari itu, frekuensi mereka bisa dibagikan kepada perusaahan yang baru berkembang.
"Itu akan diatur oleh pemerintah dan kementerian terkait yang kemudian sewa menyewanya akan diatur pemerintah. Sebetulnya akan jadi sebuah persaingan yang sehat. Dan kemudian juga tidak akan menjadi beban kepada negara," jelas Firman.
Sebelumnya, salah satu yang paling mencuat dalam RUU Penyiaran ini adalah penetapan TVRI sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran. Usulan Single Mux mencuat dalam proses penggodokan draf revisi Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2012.
(Baca juga:
Usulan ATVSI terkait RUU Penyiaran)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)