Jakarta: Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat dinilai sebagai wujud demokrasi yang maju. Sehingga, proses tersebut tak perlu diubah.
"Demokrasi kita sudah cukup maju dengan menempatkan rakyat di jantung sistem melalui pemilihan pemimpin secara langsung baik pusat maupun daerah," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada Medcom.id, Rabu, 12 Oktober 2022.
Lucius menekankan hal tersebut di tengah mencuatnya wacana pilkada dikembalikan melalui DPRD. Menurut dia, berbagai persoalan yang berkat pilkada secara langsung mestinya tak memaksa proses itu diubah.
Dia mencontohkan persoalan kepala daerah korupsi. "Bahwa ada banyak kekurangan yang terjadi selama ini tak lalu jadi alasan untuk kembali merengkuh sistem lama yang sudah diubah," ujar Lucius.
Korupsi kepala daerah, kata Lucius, tak melulu karena dipilih secara langsung. Ia menilai persoalan tersebut datang dari partai politik (parpol) pengusung.
"Keseriusan parpol mengusung figur pemimpin berintegritas mungkin saja tak dilakukan. Parpol cenderung pragmatis sejak awal sehingga kandidat juga ikut arus itu. Kalau parpol yang jadi masalah, kan perubahan sistem pilkada ke tidak langsung pasti bukan solusinya," jelas Lucius.
Dia mengatakan wacana mengubah proses pemilihan dari MPR dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) terkesan dipaksakan. Karena menempatkan pilihan rakyat tidak tepat.
"Jadi alasan MPR dan Wantimpres tampak dipaksakan dan cenderung menyederhanakan soal. Juga menempatkan rakyat sebagai penyebab. Ini enggak fair," kata Lucius.
Sebelumnya, para pimpinan MPR bertemu Wantimpres membahas mengenai wacana pilkada dikembalikan ke DPRD pada Senin, 10 Oktober 2022. Sehingga, pilkada tak bisa dipilih langsung oleh rakyat.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai mengembalikan pilkada ke DPRD sah dilakukan. Proses itu disebut masih demokratis.
Jakarta: Pemilihan kepala daerah (
pilkada) secara langsung oleh rakyat dinilai sebagai wujud demokrasi yang maju. Sehingga, proses tersebut tak perlu diubah.
"Demokrasi kita sudah cukup maju dengan menempatkan rakyat di jantung sistem melalui pemilihan pemimpin secara langsung baik pusat maupun daerah," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada
Medcom.id, Rabu, 12 Oktober 2022.
Lucius menekankan hal tersebut di tengah mencuatnya wacana pilkada dikembalikan melalui DPRD. Menurut dia, berbagai persoalan yang berkat pilkada secara langsung mestinya tak memaksa proses itu diubah.
Dia mencontohkan persoalan kepala daerah korupsi. "Bahwa ada banyak kekurangan yang terjadi selama ini tak lalu jadi alasan untuk kembali merengkuh sistem lama yang sudah diubah," ujar Lucius.
Korupsi kepala daerah, kata Lucius, tak melulu karena dipilih secara langsung. Ia menilai persoalan tersebut datang dari partai politik (parpol) pengusung.
"Keseriusan parpol mengusung figur pemimpin berintegritas mungkin saja tak dilakukan. Parpol cenderung pragmatis sejak awal sehingga kandidat juga ikut arus itu. Kalau parpol yang jadi masalah, kan perubahan sistem pilkada ke tidak langsung pasti bukan solusinya," jelas Lucius.
Dia mengatakan wacana mengubah proses
pemilihan dari
MPR dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) terkesan dipaksakan. Karena menempatkan pilihan rakyat tidak tepat.
"Jadi alasan MPR dan Wantimpres tampak dipaksakan dan cenderung menyederhanakan soal. Juga menempatkan rakyat sebagai penyebab. Ini enggak
fair," kata Lucius.
Sebelumnya, para pimpinan MPR bertemu Wantimpres membahas mengenai wacana pilkada dikembalikan ke DPRD pada Senin, 10 Oktober 2022. Sehingga, pilkada tak bisa dipilih langsung oleh rakyat.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menilai mengembalikan pilkada ke DPRD sah dilakukan. Proses itu disebut masih demokratis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)