Jakarta: Anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji DPR, Wisnu Wijaya, membantah anggapan yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan merupakan kewenangan mutlak pada Menteri Agama. Pendapat tersebut dinilai perlu diluruskan.
“Di Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah memang disebutkan bahwa penambahan kuota haji setelah Menteri menetapkan kuota haji diatur oleh Peraturan Menteri,” ujar Wisnu di Jakarta saat dikutip Minggu, 28 Juli 2024.
Namun, penambahan kuota tersebut tak bisa diperuntukkan sepenuhnya untuk haji khusus. Sebab, Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengatur komposisi kuota haji khusus sebesar 8 persen.
“Artinya, Pasal 62 ayat (2) ini berfungsi untuk ‘mengunci’ atau menetapkan ambang batas maksimal pengisian kuota haji khusus,” ungkap dia.
Dia menegaskan pengaturan kuota haji khusus tak bisa hanya mengacu pada Pasal 9 UU Haji dan Umroh. Sebab, berpotensi menimbulkan tafsir seolah Menag memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur kuota haji tambahan sekehendaknya.
"Sehingga membuatnya boleh mengisi kuota haji khusus melebihi batas yang sudah ditetapkan UU sebagaimana yang terjadi saat ini,” ungkap dia.
Menurutnya, Pasal 9 dan Pasal 62 saling terkait satu sama lain. Kedua aturan tersebut tak bisa berdiri sendiri sehingga tidak bisa dimaknai parsial.
Anggota Komisi VIII DPR itu mengatakan, perubahan atas penetapan kuota haji nasional berkonsekuensi pada perubahan postur Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Selama ini, anggaran tersebut dikelola oleh BPKH yang bersumber dari dana jemaah haji.
“Artinya, setiap sen rupiah yang dikeluarkan oleh BPKH atas permintaan Kementerian Agama guna penyelenggaraan haji wajib atas persetujuan DPR dalam kapasitasnya sebagai pengawas eksternal BPKH dan Kementerian Agama,” tegasnya.
Dengan adanya kebijakan pengalihan kuota tambahan yang dilakukan sepihak oleh Kemenag melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan tanpa konsultasi dengan DPR, hal itu otomatis membuat besaran BPIH berubah. Padahal, BPIH sudah ditetapkan dalam Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH.
Politikus dari Fraksi PKS itu menuturkan, KMA Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 1445H/2024M melanggar asas lex superior derogat legi inferiori. Yakni, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
“KMA Nomor 13 Tahun 2024 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH dan Pasal 62 ayat (2) UU Cipta Kerja, sehingga kami nilai cacat hukum,” jelasnya.
Dia menegaskan kewenangan DPR mencakup pada wilayah menolak atau menyetujui anggaran yang diminta Kemenag dari dana jemaah yang dikelola oleh BPKH untuk penyelenggaraan haji. Termasuk soal anggaran yang berubah akibat pengalihan kuota haji tambahan juga semestinya atas persetujuan DPR.
Maka, klaim yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menteri Agama tidak perlu memperoleh persetujuan DPR dinilai tidak tepat dan tidak berdasar.
Jakarta: Anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji
DPR, Wisnu Wijaya, membantah anggapan yang menyebut kewenangan pengaturan kuota
haji tambahan merupakan kewenangan mutlak pada Menteri Agama. Pendapat tersebut dinilai perlu diluruskan.
“Di Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah memang disebutkan bahwa penambahan kuota haji setelah Menteri menetapkan kuota haji diatur oleh Peraturan Menteri,” ujar Wisnu di Jakarta saat dikutip Minggu, 28 Juli 2024.
Namun, penambahan kuota tersebut tak bisa diperuntukkan sepenuhnya untuk haji khusus. Sebab, Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja mengatur komposisi kuota haji khusus sebesar 8 persen.
“Artinya, Pasal 62 ayat (2) ini berfungsi untuk ‘mengunci’ atau menetapkan ambang batas maksimal pengisian kuota haji khusus,” ungkap dia.
Dia menegaskan pengaturan kuota haji khusus tak bisa hanya mengacu pada Pasal 9 UU Haji dan Umroh. Sebab, berpotensi menimbulkan tafsir seolah Menag memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur kuota haji tambahan sekehendaknya.
"Sehingga membuatnya boleh mengisi kuota haji khusus melebihi batas yang sudah ditetapkan UU sebagaimana yang terjadi saat ini,” ungkap dia.
Menurutnya, Pasal 9 dan Pasal 62 saling terkait satu sama lain. Kedua aturan tersebut tak bisa berdiri sendiri sehingga tidak bisa dimaknai parsial.
Anggota Komisi VIII DPR itu mengatakan, perubahan atas penetapan kuota haji nasional berkonsekuensi pada perubahan postur Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Selama ini, anggaran tersebut dikelola oleh BPKH yang bersumber dari dana jemaah haji.
“Artinya, setiap sen rupiah yang dikeluarkan oleh BPKH atas permintaan Kementerian Agama guna penyelenggaraan haji wajib atas persetujuan DPR dalam kapasitasnya sebagai pengawas eksternal BPKH dan Kementerian Agama,” tegasnya.
Dengan adanya kebijakan pengalihan kuota tambahan yang dilakukan sepihak oleh Kemenag melalui Keputusan Menteri Agama (
KMA) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan tanpa konsultasi dengan DPR, hal itu otomatis membuat besaran BPIH berubah. Padahal, BPIH sudah ditetapkan dalam Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH.
Politikus dari Fraksi PKS itu menuturkan, KMA Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 1445H/2024M melanggar asas
lex superior derogat legi inferiori. Yakni, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
“KMA Nomor 13 Tahun 2024 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Keppres Nomor 6 Tahun 2024 tentang BPIH dan Pasal 62 ayat (2) UU Cipta Kerja, sehingga kami nilai cacat hukum,” jelasnya.
Dia menegaskan kewenangan DPR mencakup pada wilayah menolak atau menyetujui anggaran yang diminta Kemenag dari dana jemaah yang dikelola oleh BPKH untuk penyelenggaraan haji. Termasuk soal anggaran yang berubah akibat pengalihan kuota haji tambahan juga semestinya atas persetujuan DPR.
Maka, klaim yang menyebut kewenangan pengaturan kuota haji tambahan mutlak pada Menteri Agama tidak perlu memperoleh persetujuan DPR dinilai tidak tepat dan tidak berdasar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)