Jakarta: Undang-undang Antiterorisme yang baru, selain memperjelas banyak permasalahan terkait penegakan hukum terhadap kasus terorisme, juga dapat memperkuat layanan kepada korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik hadirnya regulasi tersebut.
"Sebelumnya hak korban terorisme hanya dua, kompensasi dan restitusi. Dalam UU terbaru, bentuk hak korban diperbanyak," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulis, Sabtu, 26 Mei 2018.
Sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perumusan UU tersebut, LPSK melihat ada banyak kebutuhan selain kompensasi dan restitusi pada praktik penanganan korban, yakni adanya rehabilitasi. Pentingnya kebutuhan itu lantaran korban terorisme pasti mengalami trauma medis dan psikologis.
"Ini yang harus dipulihkan dan Alhamdulillah hak korban tersebut juga menjadi salah satu poin dalam UU yang baru. Ini merupakan kemajuan bagi upaya pelayanan kepada korban terorisme," kata dia.
Menurut dia, pada sejumlah kasus kejahatan kemanusiaan sebelum lahirnya UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diketahui bahwa posisi korban terorisme sangat lemah. Kondisi itu lantaran korban dianggap bukan termasuk tindak pidana yang mendapat prioritas perlindungan dan layanan oleh LPSK.
Permasalahan yang selama ini dirasakan para korban, sambung dia, akhirnya terjawab dengan hadirnya UU Antiterorisme yang baru. "Hak korban dari masa tanggap darurat sudah diatur dengan jelas. Ini menunjukkan bahwa UU ini fokusnya tidak hanya pada pelaku, melainkan juga kepada korban."
Baca: Komnas HAM: Pemberian Hak Korban Terorisme Jangan Tunggu Pengadilan
Selain rehabilitasi medis dan psikologis, rehabilitasi psikososial juga menjadi salah satu hak baru bagi korban yang ada dalam UU Antiterorisme. Rehabilitasi psikososial menjadi penting karena korban yang selamat maupun keluarganya tetap harus bisa melanjutkan kehidupannya secara wajar.
Contohnya, mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan maupun tetap memiliki mata pencaharian pascainsiden keji tersebut. Itu karena pada beberapa kasus diketahui korban meninggal dan selamat merupakan tulang punggung keluarga.
"UU ini sangat operasional di mana diatur dan ditunjuk pula siapa yang memenuhi hak korban. LPSK siap melakukan mandat ini, apalagi memang sebelumnya kami sudah menangani korban terorisme," terang Semendawai.
Ia menegaskan, LPSK siap mendukung implementasi UU tersebut sesuai kewenangan yang dimiliki LPSK. LPSK melihat bahwa kedua UU itu tidak tumpang tindih, melainkan saling menguatkan. Dengan demikian diharapkan layanan pemenuhan hak korban terorisme akan semakin optimal.
Selain mempertimbangkan hak korban, UU tersebut juga sudah memperhatikan perlindungan kepada saksi kasus terorisme. Hal itu sejalan dengan amanat yang didapatkan LPSK dari UU Perlindungan Saksi dan Korban. "Maka UU ini sangat penting dalam mendukung perlindungan kepada saksi dan ahli yang memberikan keterangan untuk kasus terorisme, dan memperkuat layanan kepada korban," tandasnya. (Media Indonesia)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/8korlM3b" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Undang-undang Antiterorisme yang baru, selain memperjelas banyak permasalahan terkait penegakan hukum terhadap kasus terorisme, juga dapat memperkuat layanan kepada korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik hadirnya regulasi tersebut.
"Sebelumnya hak korban terorisme hanya dua, kompensasi dan restitusi. Dalam UU terbaru, bentuk hak korban diperbanyak," ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulis, Sabtu, 26 Mei 2018.
Sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perumusan UU tersebut, LPSK melihat ada banyak kebutuhan selain kompensasi dan restitusi pada praktik penanganan korban, yakni adanya rehabilitasi. Pentingnya kebutuhan itu lantaran korban terorisme pasti mengalami trauma medis dan psikologis.
"Ini yang harus dipulihkan dan Alhamdulillah hak korban tersebut juga menjadi salah satu poin dalam UU yang baru. Ini merupakan kemajuan bagi upaya pelayanan kepada korban terorisme," kata dia.
Menurut dia, pada sejumlah kasus kejahatan kemanusiaan sebelum lahirnya UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diketahui bahwa posisi korban terorisme sangat lemah. Kondisi itu lantaran korban dianggap bukan termasuk tindak pidana yang mendapat prioritas perlindungan dan layanan oleh LPSK.
Permasalahan yang selama ini dirasakan para korban, sambung dia, akhirnya terjawab dengan hadirnya UU Antiterorisme yang baru. "Hak korban dari masa tanggap darurat sudah diatur dengan jelas. Ini menunjukkan bahwa UU ini fokusnya tidak hanya pada pelaku, melainkan juga kepada korban."
Baca: Komnas HAM: Pemberian Hak Korban Terorisme Jangan Tunggu Pengadilan
Selain rehabilitasi medis dan psikologis, rehabilitasi psikososial juga menjadi salah satu hak baru bagi korban yang ada dalam UU Antiterorisme. Rehabilitasi psikososial menjadi penting karena korban yang selamat maupun keluarganya tetap harus bisa melanjutkan kehidupannya secara wajar.
Contohnya, mereka tetap bisa melanjutkan pendidikan maupun tetap memiliki mata pencaharian pascainsiden keji tersebut. Itu karena pada beberapa kasus diketahui korban meninggal dan selamat merupakan tulang punggung keluarga.
"UU ini sangat operasional di mana diatur dan ditunjuk pula siapa yang memenuhi hak korban. LPSK siap melakukan mandat ini, apalagi memang sebelumnya kami sudah menangani korban terorisme," terang Semendawai.
Ia menegaskan, LPSK siap mendukung implementasi UU tersebut sesuai kewenangan yang dimiliki LPSK. LPSK melihat bahwa kedua UU itu tidak tumpang tindih, melainkan saling menguatkan. Dengan demikian diharapkan layanan pemenuhan hak korban terorisme akan semakin optimal.
Selain mempertimbangkan hak korban, UU tersebut juga sudah memperhatikan perlindungan kepada saksi kasus terorisme. Hal itu sejalan dengan amanat yang didapatkan LPSK dari UU Perlindungan Saksi dan Korban. "Maka UU ini sangat penting dalam mendukung perlindungan kepada saksi dan ahli yang memberikan keterangan untuk kasus terorisme, dan memperkuat layanan kepada korban," tandasnya. (Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DMR)