Jakarta: Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyarankan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dihentikan. Aturan yang diusulkan lima anggota DPR itu dinilai sia-sia.
"Ya karena buang-buang waktu saja," kata Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad kepada Medcom.id, Rabu, 11 Maret 2020.
Bahrul menyebut sejumlah hal yang diatur RUU Ketahanan Keluarga sudah ada di perundang-undangan lain. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Jadi menurut saya RUU ini (Ketahanan Keluarga) terlalu general," tutur dia.
Bahrul juga menilai RUU Ketahanan Keluarga bertentangan dengan upaya meningkatkan keterlibatan kaum hawa di ranah publik. Sebab, klausul RUU Ketahanan Keluarga menjabarkan kewajiban seorang istri dalam rumah tangga.
(Baca: RUU Ketahanan Keluarga Berpeluang Mental dari Prolegnas)
"Kalau misalkan diatur kewajiban istri dalam rumah tangga sangat bertentangan dengan spirit perjuangan perempuan sendiri, khususnya Komnas Perempuan," ujar dia
Aktivis Perempuan dan Kesetaraan Gender Tunggal Pawestri mendukung pembahasan RUU itu dihentikan. Pengusul disarankan mengawasi implementasi aturan yang sudah ada.
"Lebih baik mereka mulai evaluasi impelementasi UU dan kebijakan terkait hal-hal yang mereka khawatirkan itu," kata Tunggal.
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan lima anggota dewan, Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetiyani (PKS), Sodik Mudjahid (Gerindra), Ali Taher (PAN), dan Endang Maria (Golkar). RUU itu menuai kritik. Beberapa pasal dianggap kontroversial, seperti penanganan krisis keluarga akibat perilaku seks menyimpang, pelarangan donor sperma, dan peran perempuan dalam keluarga.
Jakarta: Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menyarankan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga dihentikan. Aturan yang diusulkan lima anggota DPR itu dinilai sia-sia.
"Ya karena buang-buang waktu saja," kata Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad kepada
Medcom.id, Rabu, 11 Maret 2020.
Bahrul menyebut sejumlah hal yang diatur RUU Ketahanan Keluarga sudah ada di perundang-undangan lain. Salah satunya, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
"Jadi menurut saya RUU ini (Ketahanan Keluarga) terlalu general," tutur dia.
Bahrul juga menilai RUU Ketahanan Keluarga bertentangan dengan upaya meningkatkan keterlibatan kaum hawa di ranah publik. Sebab, klausul RUU Ketahanan Keluarga menjabarkan kewajiban seorang istri dalam rumah tangga.
(Baca:
RUU Ketahanan Keluarga Berpeluang Mental dari Prolegnas)
"Kalau misalkan diatur kewajiban istri dalam rumah tangga sangat bertentangan dengan spirit perjuangan perempuan sendiri, khususnya Komnas Perempuan," ujar dia
Aktivis Perempuan dan Kesetaraan Gender Tunggal Pawestri mendukung pembahasan RUU itu dihentikan. Pengusul disarankan mengawasi implementasi aturan yang sudah ada.
"Lebih baik mereka mulai evaluasi impelementasi UU dan kebijakan terkait hal-hal yang mereka khawatirkan itu," kata Tunggal.
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan lima anggota dewan, Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetiyani (PKS), Sodik Mudjahid (Gerindra), Ali Taher (PAN), dan Endang Maria (Golkar). RUU itu menuai kritik. Beberapa pasal dianggap kontroversial, seperti penanganan krisis keluarga akibat perilaku seks menyimpang, pelarangan donor sperma, dan peran perempuan dalam keluarga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)